Sabtu, 11 Desember 2010

Betapa ‘Terima Kasih’ Sangatlah Berharga

Allah Swt berkata, barangsiapa pandai berterima kasih kepada makhluk ciptaanNya, maka ia termasuk orang yang sangat bersyukur kepada Allah ta’ala. Begitulah kurang lebih firmanNya yang saya tanamkan dalam benak saya hingga kemudian saya tetapkan menjadi prinsip hidup. Saya berusaha sebisa mungkin berterima kasih kepadaNya & kepada makhluk ciptaanNya. Oleh karenanya, terkadang apabila saya menyaksikan langsung seseorang yang telah meminta tolong atau bantuan dalam bentuk apapun lalu tidak atau lupa mengucapkan teima kasih, saya jadi memiliki kesimpulan kurang baik kepadanya. Seperti banyak kasus yang sering saya temui di mopen umum (lagi-lagi, pengalaman interaksi utama, di mopen umum), penumpang yang duduk agak jauh dari bel penghenti, kerap kali memerintah seseorang yang dekat dengan bel tersebut lalu lupa berterima kasih atas permintaannya yang telah dipenuhi. Apakah menurut pribadinya permintaan itu tidak perlu ditutup dengan ucapan terima kasih karena seseorang yang telah duduk dekat dengan bel telah dengan sendirinya memiliki kewajiban untuk memencet bel? Kewajiban yang tidak perlu diiringi rasa permohonan tolong?
Suatu ketika di lain cerita. Saya begitu antusias memberikan beberapa hadiah untuk keluarga ‘baru’ sebab pernikahan saya. Bagi saya, hadiah adalah hal yang indah. Bagaimana tidak, gratis tanpa bayar ataupun pakai embel-embel apapun! Kalau saya yang mendapat hadiah, pasti senangnya bukan main dan rasanya suatu saat saya harus turut membalasnya. Tetapi, apa yang saya rasakan lain. Ternyata, keluarga ‘baru’ itu justru menyambut hadiah pemberian saya dan suami dengan respon yang dingin luar biasa. Kami bukan dalam masa konflik atas suatu masalah. Bahkan hubungan silaturrahim kami dalam keadaan yang sehat wal’afiyat. Tetapi kenapa ya, toh realitanya respon yang kami dapatkan justru seolah kami seperti memberikan racun tanpa ada ucapan terima kasih sedikitpun! Oalah... Apakah karena adat istiadat yang telah mendarah daging untuk tidak mengucapkan terima kasih? Atau karena mereka tidak terbiasa mengucapkan terima kasih? Ataukah karena gengsi atas pemberian dari kami yang tidak bernilai tinggi? Mereka cukup berpendidikan untuk bisa berucap terima kasih meskipun –seandainya- adat tidak membiasakan mereka. Kami bukanlah ingin dibanggakan atau dipuja-puja, apalagi mendapatkan balasan atas apa yang telah kami berikan. Kami bukan pula ingin pamer solah kami sudah mampu memberikan hadiah. Saya cukup dengan niat ikhlas dan bahagia mampu memberikan ‘sesuatu’ kepada keluarga yang telah menghiasi kehidupan suami saya sebelum akhirnya berkehidupan bersama saya. Sedih merasa tidak dihargai. Terlebih suami, rautan wajanya menjadi sedikit muram sementara setelah penyerahan itu saya yang berwatak mudah protes, langsung beraksi. Jelas saya tidak terima, sikap aneh demikian. Saya tidak pernah dibiarkan tumbuh tanpa berterima kasih. Setidaknya, saya membutuhkan respon terima kasih meskipun tidak dengan kata-kata. Semoga kebiasaan tidak tahu terima kasih itu mampu kita enyahkan dari kehidupan ummat beragama. Semoga generasi selanjutnya adalah generasi yang penuh terima kasih kepada Tuhan, makhluk, terlebih alam sehingga mampu melestarikan kehidupan yang damai yang serasi, harmonis, dan seimbang. Ada-ada saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar