Kamis, 22 Juli 2010

GLOBAL YOUTH SYMPOSIUM 2008

Sebuah Laporan Perjalanan
Sebuah undangan via E-mail terbuka dihadapan mata. Setelah melalui pendaftaran dan seleksi yang panjang, nama saya pun akhirnya terpilih menjadi salah satu delegasi yang dapat menghadiri event ‘kumpul-kumpul’ pemuda se-Asia.
Adalah suatu proses yang panjang, manakala langkah-langkah kecil menapaki kerikil yang hendak mengarah pada satu tujuan, yakni mencari perubahan semakin hari dirasa semakin tidak mudah. Sebulan penuh waktu senggang yang diberikan setelah memperoleh pengumuman, saya habiskan untuk bertualang mencari titik-titik dukungan serta melakukan berbagai persiapan.

Global Youth Symposium (Simposium Pemuda Global), sebuah konferensi Internasional bertujuan untuk membuat suatu perbedaan. Pertama kali diadakan pada tahun 2007 menyepakati isu-isu penting dan terkini yang telah mempengaruhi seluruh dunia. Peserta membuat sejumlah strategi melalui pemikiran-pemikiran intelektual yang dapat secara langsung diterapkan.
Simposium dilaksanakan oleh sebentuk ikatan mahasiswa Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Event yang mengundang 88 orang peserta mewakili 13 negara se-Asia tersebut didukung penuh oleh pihak universitas secara sepenuhnya tidak hanya dari pihak rektorat, sponsor, menteri pendidikan dan pariwisata, serta UNESCO Club. Christinie Chai, selaku ketua acara mengungkapkan, “Kita tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan UM di mata dunia tetapi juga untuk menciptakan kepedulian pada peranan seluruh mahasiswa sebagai penduduk dunia”.

Simposium berlangsung pada 19 – 23 Agustus 2008 lalu. Tema yang diangkat kali ini “Empowering Youth meeting Global Challenges” / Penguatan Pemuda Menghadapi Tantangan Global. Globalisasi saat ini telah mencakupi seluruh dunia dengan kuatnya merasuki tiap sendi-sendi kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasarkan latarbelakang tersebut, maka lahirlah tiga isu utama yang dijadikan sebagai dialog bersama pakar serta pembahasan diskusi kelompok. Event ini memungkinkan pemuda untuk bertukar ide, mencari gagasan, dan membuat rencana tindakan yang patut untuk menjadi rancangan masa mendatang. Melalui penguatan ini, selayaknya mampu mendorong manusia-manusia muda untuk dapat membuat keputusan tegas yang lebih baik lagi dari keputusan yang telah ada sebelumnya.

Kali tersebut, saya mendapat kesempatan sebagai salah satu dari 2 orang delegasi Universitas Syiah Kuala mewakili pemuda dari seluruh Indonesia. Rasa takjub sesaat berkelebat ketika konfirmasi peserta dikirim. Teked saya pun semakin bulat, saya harus dapat melangkah disana.

Sambutan hangat kami terima melalui senyuman manis dan jabatan tangan persahabatan dari beberapa orang panitia transportasi yang telah berjaga menunggu kehadiran sejumlah peserta di Kuala Lumpur Central (KL Central) guna mengantar peserta mencapai Universitas Malaya (UM), tempat dilangsungkannya beberapa acara utama. Antusiasme saya semakin meningkat tatkala bangunan demi bangunan kampus yang cukup megah kami lewati. Sedikit hayalan akan jalannya berkelebat dalam kepala. Kami masuki komplek kampus beriring dengan penjelasan langsung dari panitia selaku pemandu tamu, mahasiwa UM dari jurusan dan angkatan yang berbeda.
”Universiti Malaya atau UM, adalah universitas Malaysia yang paling tua. Memiliki luas sekitar 309 hektar, terletak di bagian selatan-barat Kuala Lumpur, ibukota Malaysia. Dibangun pada bulan April 1949 di Singapura”, jelas M. Akhir, salah seorang panitia.

Tiba di muka dua gedung megah berhadapan, dua gedung asrama mahasiswa menyambut lelah kami selama perjalanan tadi, cukup panjang dan melelahkan. Kami melangkah melewati beberapa ruang dan jalan pintas menuju kampus dan kantin utama di bawah asrama. Setelah melampaui 16 lantai, tibalah saya bersama kenalan baru kami, yang kemudian menjadi kawan sekamar, Raana Majid, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Pembangunan Universitas Lahoor, Pakistan.
Karena keterlambatan jadwal penerbangan pesawat, kami tidak dapat turut serta dalam ice breaking, yakni perkenalan peserta yang mewakili negara yang berbeda. Walaupun demikian, senyuman hangat untuk pagi di hari pertama acara berhias di wajah saya.

Pembukaan acara mengawali jalannya hari pertama. Sambutan resmi dan singkat dilantunkan pimpinan acara di aula gedung Fakultas hukum, yang juga dihadiri oleh pihak aparatur kampus. Acara selanjutnya yakni pengangkatan isu-isu global yang dikupas dan di bahas tuntas melalui dialog terbuka oleh seorang moderator tetap acara, seorang yang cukup dikenal baik di Malaysia, beserta pemateri yang berbeda di tiap pembahasan isu nya.
Rebranding capitalism atau Kapitalisme Pembaharuan, diisi oleh beberapa orang pakar dalam bidang ekonomi:
- Prof. Jomo Kwame Sundaram – Sekretaris bidang Ekonomi dan Hubungan Masyarakat, PBB
- Prof. Lim Chong Yah – Pemimpin Pusat Pertumbuhan Ekonomi, Universitas Teknologi Nanyang, Singapura
-Tan Sri Dato Azam _ Pemimpin Pengelola Khazanah Nasional Malaysia

Topik-topik umum dwi negara, mengundang antusiasme sejumlah mahasiswa jurusan ekonomi yang mewakili National University of Singapore yang mewakili Singapura. Sebuah perbandingan serta fenomena ekonomi antara ke dua negara tersebut terangkat. Diskusi ringan namun cukup sengit berlangusng meriah.
Aplaus dari peserta mengantar pemateri pada dialog pertama mengakhiri acara.
Masih di hari yang sama, dialog ke dua, mengangkat tema Environmental Responsibilities vs. National Development atau Tanggungjawab lingkungan melawan Pembangungan nasional.
Masih dengan konsep yang sama, nama-nama pemateri handal berjejer di atas meja, muka ruangan.
Prof. Dr. Alastair S Gunn – Kepala Departemen Filosofi Universitas Waikato, Hamilton, Selandia Baru
Prof. Dr. Khairulmaini Usman Saleh – Dosen bidang Geografi, Fakultas Seni dan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Malaya
Prof. Dr. Mohani Zainal – Direktur Institut Strategi & Kajian Internasional, Malaysia


Kembali, slide demi slide presentasi ditampilkan mem-brainstorm kepala peserta untuk siap menghadapi lusa, menangani diskusi kelompok serta pembuatan deklarasi.

Hari pertama ditutup dengan sebuah perjalanan singkat ke Putrajaya, sebuah daerah yang elok, yang cukup dikenal, berdiri diatasnya jajaran perkantioran dan kantor-kantor dinas pemerintahan Malaysia serta sejumlah tempat pariwisata lainnya.
Senyuman bahagia kembali berhias di wajah ceria kami, tatkala panitia memberitahukan kepada kami bahwa kami akan menunggu sebuah event Internasional di atas dataran tinggi Putrajaya. The International Firework Competition, Kompetisi kembang api Internasional menyambut seminggu sebelum hari kemerdekaan Malaysia. Kali tersebut merupakan penampilan dari negara Kanada. Fotografer kawakan telah berjejer di bibir jembatan guna dapat dengan mudah mengambil gambar terbaik. Letusan-letusan indah menghiasi langit Kuala Lumpur yang kali itu mendung dengan sedikit gerimis. Luar biasa indah, decakan kagum terucap dari tiap mata yang menyaksikannya.

Di hari kedua, isu terakhir yang paling saya nantikan diangkat, Media and Its Evolving Role, Media dan Pengaruh Peranannya, dibahas bersama dialog dengan para pakar.
- Sabina Inderjit – Anggota Eksekutif Federasi Jurnalis Internasional Asia-Pasifik
- Edmund Bon – Pimpinan Dewan Pengacara HAM
- Mr. Johan Farid – Kepala Proyek Regional Pemuda
Dialog kali tersebut berlangsung dengan respon yang 2 kali lipat lebih besar dari peserta, bahkan panitia juga tak hendak tinggal diam, mereka turut serta memeriahkan diskusi dari pembahasan isu terakhir. Sedikit berbeda dari diskusi sebelumnya, kali dialog penutup tersebut diisi oleh tanya jawab secara langsung dari para pemateri kepada peserta. Dimulai dengan penjelasan panjang lebar mengenai perjalanan jurnalis perempuan, pemberian beberapa pertanyaan kontroversi oleh seorang wartawan, serta pembahasan mengenai kehidupan penyiaran serta peranan blog bagi jiwa-jiwa muda oleh seorang broadcaster muda dan handal dari Malaysia.
Akhir dialog yang mengesankan.

Berlanjut kepada hari berikutnya, tim kerja kelompok telah dipersiapkan oleh panitia. Tim terbentuk berdasarkna minat yang peserta pilih pada permulaan acara. Masing-masing isu diwakili oleh dua tim yang berbeda yang bersaing menentukan deklarasi yang paling tepat untuk simposium kali ini. Saya sendiri tergabung dalam sebuah kelompok yang mewakili isu Media dan Peranannya yang Berpengaruh.
Disela-sela kesibukan kami menympulkan hasil dialog yang telah dilaksanakan, sebuah kunjungan singkat sebagai ajang bakti sosial dilaksanakan. Kami melaksanakan sebuah susunan acara di sebuah Yayasan Yatim Piatu, Rumah HOPE yang bertujuan untuk menghibur anak-anak yng berlindung dibawah yayasan tersebut.

Semalam tanpa akhir, tanpa rasa lelah di tubuh, tanpa kantuk di mata, guna mempersiapkan deklarasi yang akan dinilai oleh juri lengkap dengan presentasi hasil kerja dari masing-masing kelompok pada keesokan paginya.
Setelah melalui proses penjurian, panitia memutuskan presentasi dan deklarasi atas isu mengenai media dari kelompok kami yang berhak untuk dideklarasikan.
Maka tiada dari hasil kerja keras kita adalah sesuatu yang sia-sia.

Perjalanan simposium yang mengagumkan, hingga tanpa sadar, malam penutupan di pelupuk mata. Simposium diakhiri dengan acara makan malam bersama, penampilan budaya singkat, serta pembacaan deklarasi.
Tiga deklarasi telah tersusun berdasarkan isu siap dibacakan. Rasa sedih meninggalkan kawan-kawan baru yang ’berbeda’ pun hinggap di hati kami. Rasa kagum, puji dan salut kami sampaikan kepada panitia yang telah bekerjakeras merealisasikan simposium yang sangat mengesankan. Follow up atas hasil dari pembentukan deklarasi tersebut, yakni penyerahan deklarsi kepada pemerintah Malaysia untuk dapat ditindaklanjuti sebagai bentuk aspirasi dan kepedulian dari mahasiswa se-Asia.

Sebuah perjuangan yang begitu berharga manakala teringat masa pencarian dukungan dari tempat saya bernaung, universitas sendiri, sedemikian sulitnya.
Istilah mengatakan it’s like a dream come true, ’seolah mimpi menjadi nyata’.
_____________________
Penulis adalah aktivis UKM Pers DETaK Unsyiah, Relawan Al-Kahfi Youth Foundation, Mahasiswi FKIP B. Inggris ’07.

My writings-All my works

Ayahku Buta
Oleh Meta Keumala
Firdaus di siang ini...
Menyengat, perih. Kulitku berlumur keringat. Lecet di telapak tanganku, menambah payah hari ini. Sepasang berharga ini tak cukup tahan merespon panasnya sinar sang surya. Lelahku meringis sejak tadi, namun ayahku tetap diam. Memang selalu begitu, hanya diam.
Aku biasa menjadi kuli angkut barang di pasar, persis di mana aku juga melakukan pekerjaan yang sama. Aku memiliki empat orang adik perempuan, harus memikirkan bagaimana kelangsungan biaya sekolah mereka karena orangtuaku tak sepenuhnya dapat diandalkan. Jabatan mereka cuma kuli. Apalah daya tubuh mamak dan ayahku, kerana beberapa organ penting yang tak berfungsi, maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa takkan ada pekerjaan yang ‘kan cukup memapankan kami, anak-anak mereka, karena keterbatasan-keterbatasan itu. Begitulah garis keturunan kami, amat sangat sederhana.
Ayahku nyaris tidak pernah tersenyum. Bahagianya adalah sekuntum kata terima kasih, dengan bahasa sederhana, kepada siapa saja. Adalah senyum yang tulus akan terlahir jika adik-adikku masuk ke dalam peringkat 10 terbaik di kelas.
Karena ia jarang tersenyum, ia tidak mau tertawa. Mamakku beralasan, tertawa itu takabbur, banyak tertawa saudara syaitan.
Aku dan ayah akan selalu bersama, seperti biasa, kami akan melangkah nyaris ke mana saja berdua. Kecuali, saat aku harus sekolah, karena pasti beliau akan sedang sibuk dengan kerupuk ubi yang adonannya sudah dibuat dan dikeringkan mamak. Maka dipastikan juga saat itu ayah akan sedang duduk di atas jengkok kayu lapuk yang dibuatnya. Duduk ia dihadapan minyak goreng panas dengan suhu api yang cukup menghirup segenap oksigen di sekelilingnya. Setelah itu, dengan sebatang kayu pohon beringin yang cukup kokoh sepanjang satu meter berdiameter lima senti akan menemaninya menuju sekolahku. Sambil meraba-raba badan jalan yang telah diingat seumur hidupnya. Kadang beberapa orang berakhlak dan hati mulia akan dengan sangat terharu membantunya menuju sekolahku. Maka saat-saat itu akan menjadi beberapa patah kalimat sederhana sebagai ceritanya kepadaku, bahwa laki-laki atau perempuan-perempuan itu sungguh malaikat. Seperti itulah akhlak yang diinginkannya ada pada anak-anaknya kelak jika kami kaya nanti. Yah, enam atau tujuh kalimat saja, sisanya, tak perlu ditanya, karena aku sendiri bukan penanya yang baik. Aku tak mau usik pikirnya. Aku bukanlah peminta, apalagi perengek. Cukup yang aku perlu adalah pikirkan masa depan kami.
Akulah yang selalu bangga kepada diriku karena aku merasa menjadi The Thinker, si patung pemikir yang menakjubkan.
Ayah sangat membutuhkan aku, ke mana pun, di mana pun. Seperti saat ini. Lagi.
Aku lelah, gerutuku di hati. “Ayah, tahukah engkau aku ingin sekejap waktu untukku sendiri? Aku ada di puncak titik jenuh, ayah! Aku mau aku! Ah ayah, kenapalah aku perlu merasa bersalah meninggalkna engkau bepergian sendiri? Kalau bukan karena sekelompok orang biadab yang merampokmu itu!” Aku mengamuk si tenggorokanku. Tanpa suara pun terdengar. Hanya desahan nafasku. Entah apa yang ada dalam pikirku saat ini. Saat kucoba hentikan labi-labi yang akan membawa kami ke pasar ikan. Cukup jauh kami berjalan untuk mencapai ini dari kediaman. Nyaris 1 kilometer. Bukan karena ketiadaan angkutan umum yang melewati jalan rumah kami dan sekolahku, tapi kerana empat lembar uang seribu rupiah itu berharga untuk adik-adikku.
Manakala hari tepat berada di tengah puncaknya, seusai sekolah, adalah saat paling tepat untukku nyaman berdo’a, di situlah saatku mengadu pada Allah Swt, Tuhan yang amat kuyakini keberadaannya. Kubermohon semoga Dia mau mempermudah setiap langkah kami, supaya mamakku tak perlu lagi mencuci baju orang, supaya kaki mamakku segera sehat, supaya ketiga adikku bisa terus mengecap bangku sekolah setinggi-tingginya, supaya sepasang mata ayah bisa melihat, supaya ia tahu bahwa deru ombak yang bersyair cinta menurut keyakinannya itu - hal yang sangat ingin dilihatnya - memang adalah hal luar biasa di bumi, dan agar supaya-supaya yang lain yang selalu aku upayakan tiap siang didengar dan diijabahNya. Malam-malamku adalah saat derajatku menjadi lebih tinggi, guru bagi adik-adik yang butuh bimbinganku untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Ah, alangkah bahagianya jadi guru, pekerjaan sederhana, mengoper ilmu tanpa pelit sampai murid pandai. Semoga suatu waktu nanti aku mampu mengangkat derajat keluargaku dengan pekerjaan mulia itu. Toh, aku muak melihat pemimpin-pemimpin omong kosong. Yang dilakukannya hanyalah koleksi dosa. Na’udzubillah.
***
Dinar di siang ini...
Lompatku segera ke atas labi-labi berpintu kecil yang tanpa sengaja kuantukkan kepalaku. “Sial!” desisku. Music player dari handphone paling murah yang pernah kumiliki ini sedikit mengiburku. “I’m tired of being what you want me to be, feeling so faithless. Lost under the surface” bait demi bait kalimat-kalimat itu keluar dari faring Chester Bennington, vokalis band yang amat kugemari. “ ... every step that I take is anther mistake to you!” begitulah aku, bagi papa, adalah kesalahan dalam hidupnya. “I’ve become so numb...” Sungguh muak! Aku benci papa!
Dua orang laki-laki memberhentikan labi-labi yang aku tumpangi. Dari jauh, nampak jelas kalau mereka papa dan anak. Ups, papanya coba meraba. Ia tidak melihat. Kuraih lengannya kubimbing duduk di hadapku. Raut wajah mereka berdua lelah. Putera yang mendampinginya miris sinis melihatku. “Lho, bukan maksud menghina dek, Cuma pengen bantu!” ucapku dalam hati. Nah, dia sendiri yang gak mau bantu papanya!
Ah, papa, lagi-lagi papa! Aku juga punya papa. Dia juga buta. Mata hatinya tak mampu melihat meski bisa. Mungkin karena sistem kerja otaknya telah serusak hatinya oleh karena itu dia jadi tak mampu?
Akan kuingat puncak amarahnya pagi tadi yang telah membawaku menumpangi labi-labi berbau aneh ini. Seluruh benda milikku disitanya! Seluruhnya! Padahal semua itu adalah hasil kerjaku sendiri, modal dari mama! Oh mama, putera manjamu ini rindu mama. Bagaimana kabar mama di sana? Mama, maaf, aku lupa cara mendo’akanmu. Terlalu dini aku mempelajainya hingga aku lupa.
Berita di koran pagi tadi “Skandal Video Mesum Presiden direktur Bank Sabenaraseuki Kembali Terungkap”. Bodoh. Papa memang tidak pandai. Hal sepele semacam itu mampu menjerembabkannya. Dasar perempuan biadab! Mau dapat harta dengan cara yang benar-benar menjijikkan. Ah, itu pasti karma bagi papa. Sebagaimana dulu ia menghamili kekasihnya, mama, di luar nikah demi harta warisan dan nama terhormat yang telah dimiliki kakek. Tragis memang nasib mama. Sesosok perempuan cantik nan anggun yang terkena pola didik liberal sebagaimana yang dianut dan dipolakan kakekkepada anak-anaknya. Mama bukan lugu, hanya sedikit rusak pikirannya karena pola hidupnya di kota. Adalah seorang laki-laki kampung yang diyakininya sepolos-polos laki-laki yang ia kenal, papa, yang dengan alasan tanpa sengaja menghamilinya sehingga terpaksa harus mempertanggungjawabkannya. Ah, Tuhan ampunilah dosa mamaku tercinta.
Berita itu lagi-lagi diangkat wartawan. Cukup sudah malu. Apa kata teman-temanku nanti? Belum lagi dosen-dosenku yang lagaknya macam ustadz yang ‘kan menyindirku di muka kelas. Tepat di wajahku. Padahal telah kuberusaha keras menjadi pelajar yang mampuunggul dan jadi luar biasa dengan bakat alamiku sendiri. Bukan karena papa! Ah, percuma. Toh semua orang buta! Buta seperti papa! Yang dia tahu hanya jelekku, padahal segenap syaraf di otakku memikirkan tiap-tiap pelajaran dan usaha bisnis yang sedang kujalani. Yang papa tahu hanya aku yang tak sengaja kepergok salah seorang premannya di sebuah bar, di salah satu kota terbesar di negeri ini. Papa tak akan mau tahu betapa ku juga mau seperti dia, mengistierahatkan sebentar beban otak dan sel-sel darah yang selalu panas dibakar klien, wartawan, dan masyarakat di dunia gemerlap.
“Pergi! Kalau kamu ingin tunggu kata usiran itu secara jelas dari mulut paapa, maka pergilah! Kamu memang tak ada guna! Tidak akan penah! Yang kamu mau cuma hidupmu sendiri, tanpa pikir nasib papa. Ingat, ini kali terakhir terucap dari dalam mulut papa. Kamu tidak akan dapat apapun dari papa. Bahkan tidak handphone di genggamanmu itu! Anak manja tak tahu diri!”
Maka hanya dengan pakaian di badan, setumpuk uang, yang tiap lembarnya senilai seratus ribu, yang sempat kutarik karena pegawaiku mengatakan akan membutuhkannya siang ini untuk biaya perawatan ibunya, dan hp di genggamanku, aku nekad pergi.
***
Aku asyik menatapi laki-laki muda di hadapan ayah. Telepon genggamnya bagus. Ia nampak asyik medengarkan musik yang keluar langsung ke telinganya melalui earphone yang dipakainya. Ah, alangkah senangya. Pasti lebih rileks. Ayah juga bisa dengar lagu-lagu Rhoma Irama dan Nike Ardhilla dari sana. “Aku simpan gaji lima bulan ini dan ke depan nanti untuk beli itu ya, ayah?” Ah ayah. Pertanyaanku hanya terucap di hati.
***
“So much for my happy ending!” Avril berteriak di telingaku.
Sumpahilah aku papa! Bahagia ku mendengarnya.
‘Kan kututup kisah hari ini dengan senyum Anita dan bundanya di Rumah Sakit Umum Daerah nanti. Dan aku juga akan berjanji kepada almarhumah mama untuk segera mengembalikan Tuhan dalam memoriku.
***
Darussalam, menuju sepertiga malam yang menuju hari ke tujuh bulan Februari tahun 2010.
Inspirasi menulis berbait-bait kalimat ini adalah;
• Seorang anak usia sekolah menengah atas dan yahandanya yang tidak mampu melihat dengan pakaian dan wajah lusuh mereka. Saat-saat itu kuteliti dan menghayalkan sosok mereka di labi-labi yang kutumpangi menuju tempat mengajarku, sebuah bimbingan belajar yang cukup terkemuka se-Indonesia bagi anak sekolah.
• Sedemikian banyak kasus pemimpin zaman sekarang beserta pola kehidupan anak eturunan mereka yang teramat glamor dan angkuh.