Sabtu, 21 Januari 2012

Bu Nanas on Facebook oleh Meta Keumala



Terik. Jendela yang ada di sekeliling ruang bukan membantu menghantarkan angin ke dalam, tetapi justru menyaring sengatan matahari, lalu memantulkan sekaliannya itu menuju tiap-tiap bangku siswa kelas X-I SMA PutraTaruna. Meskipun ada pepohonan di muka kelas, tetapi hanya pepohonan gantung saja. Siswa sekolah swasta terbaik di daerah itu hanya mampu menikmati rindangnya pohon buah-buahan jika mereka berada di sudut kiri sekolah. Jika tiba musimnya, mangga harum manis akan sangat nikmat dipanen. Begitu juga rambutan yang meski tidak berubah warna, senantiasa hijau, akan tetap manis rasanya. Sekolah Menengah Atas itu hanya memiliki seratus tiga puluh siswa yang kesemuanya adalah laki-laki. Bangunan sekolah tidaklah terlalu megah, namun fasilitas serta guru yang tersedia diakui cukup kompeten dalam bidangnya masing-masing. Tak mengherankan jika siswa di sana senantiasa mengecap prestasi dalam berbagai olimpiade.
Peluh tak terperi. Semua siswa, yang tak menikmati jalannya sistem belajar mengajar hari itu, mengeluh dalam hati. Nyanyian lambung mengirim sinyal ke otak mereka bahwa telah tiba waktunya untuk makan siang. Lima huruf menggambarkan perasaan mereka saat ini yakni BOSAN. Kelas tersebut berisi tiga puluh orang siswa laki-laki yang nyaris hampir tiap individunya berprestasi dan pernah mengharumkan nama sekolah.
Hanyalah tiap kali tersebut ini, mereka akan merasakan betapa metode ceramah dalam mengajar di siang hari amatlah tidak tepat. Akan tetapi, suara protes ringan dari bibir mereka tidak akan boleh terdengar di telinga wanita yang berjalan mondar-mandir bak peragawati di hadapan mereka itu.
Di sudut belakang sana, Kamil, siswa yang terpandai ke lima urutan kepandaian di kelas, mulai kehabisan akal. Ia telah coba memenuhi buku catatan pelajaran Bahasa Daerah -nya dengan gambar-gambar tokoh manga favoritnya. Kini, setelah ia merasa cukup bosan, ia keluarkan telepon genggamnya yang tak tanggung-tanggung, Blackberry yang membuat mata rekan-rekan serta abang-abang kantin di sekolahnya berdecak kagum. Tak pernah ia lepaskan handphone itu dari genggamannya, apalagi dari jemari lentiknya, terkecuali ketika kelas akan memulai pelajaran. Kali ini, ia bantah prinsipnya. Ia akan tetap stay on line dalam dunia maya demi mengenyahkan kebosanannya.
Kamil merupakan putera pejabat daerah yang hidup mandiri bersama seorang kakak perempuannya di salah satu rumah milik ayahnya, yang beberapa lainnya tersebar di penjuru daerah penting. Kamil Malik termasuk seorang siswa yang mandiri dan penggiat belajar. Tanpa segan dan malas ia datangi sekolah dan tempat bimbingan belajar. Tak seperti kawan-kawannya yang lain, yang juga putera pejabat, yang tak mau peduli dengan segala sesuatu mengenai pendidikan. Akan tetapi, di balik ketekunannya, jiwa nakalnya sebagai pemuda juga masih melekat baik dalam kepalanya. Rekan-rekannya menjulukinya “The Trouble Maker Somewhat Intellectual”. Kenakalan-kenakalannya tersembunyi dalam berbagai kecanggihan teknologi informasi saat ini.
Ya, seperti sekarang ini, ibu guru nya itu yakinnya tidak tahu apa yang tengah ia dan gadget kesayangannya itu lakukan. Ia tatap layar telepon genggamnya, senyum tersimpul di sudut bibir seraya mengukir beberapa kata di dinding pofilnya. Sebuah topik yang ia coba mulai bahas dan perbincangkan bersama teman-teman sekelasnya melalui facebook, situs terkemuka yang tengah tren sebagai jejaring sosial paling laris di Indonesia belakangan ini. Sementara di hadapannya, sesosok wanita paruh baya dengan sebuah spidol whiteboard di genggaman tangannya sibuk mengutarakan tentang ini-itu yakni haal yang begitu membosankan siswa ‘abg’ umur belasan masa kini, juga tentang ketidak-unikan sesuatu hal, terlebih sesuatu yang sifatnya monoton.
Sejuta kata terpendam dalam pikiran tiap-tiap siswa yang menatap buk Na, begitu ia biasa disapa. Wanita yang belum pernah merasakan mahligai rumah tangga itu bernama lengkap Karlina Nasution. Pada awalnya, ia bukanlah tamatan sekolah perguruan ataupun universitas yang khusus membidangi ilmu mengajar murid. Beliau hanyalah siswi tamatan sekolah kejuruan yang tidak ada kaitannya dengan ilmu pendidikan. Hanya saja, beliau terlahir sebagai puteri budayawan kenamaan yang telah tiada sehingga dinilai mampu mentransfer ilmu budaya yang ia miliki sebagai warisan dari almarhum ayahandanya. Kelebihan yang beliau miliki yakni mampu berbicara beberapa bahasa daerah dengan cukup lancar. Karena masih menerapkan sistem kuno pada tiap-tiap pertemuannya bersama muridnya, ia dinilai tidak asyik seperti apa yang diharapkan siswa SMA pada umumnya. Proses transfer ilmu yang beliau lakukan senantiasa menimbulkan kejenuhan.
Siswa yang usil membuatkannya nama panggilan yang cukup menggelikan di kalangan mereka yakni sebutan bu Na Nas karena performa luar yang kurang ramah alias berduri-duri, nanas seperti ibu guru tersebut adalah jenis asam dan tidak ramah rasanya di indera pengecap remaja. Itulah fase kehidupan mereka saat ini.
Keyakinan Kamil bahwa ibu gurunya ini tidak mengetahui ulahnya bersama gadget-nya adalah salah. Sekarang ini bu Na, yang belum pernah merasakan pendidikan komputerisasi di zaman ia sekolah dahulu, telah memahami sedikit-banyak tentang situs jejaring sosial yang ia nilai telah merusak nama baik serta citra-nya dihadapan semua orang yang terlibat dalam jejaring itu. Seorang ‘mata-mata’ telah disewa ibu Na guna mengendalikan terbitnya kalimat-kalimat komentar yang ia khawatirkan akan merugikannya. Fathan, seorang mahasiswa Fakultas MIPA Ilmu Komputer universitas terkemuka di daerah yang ahli dalam bidang teknologi informasi itu stay on line pada setiap berlangsungnya mata pelajaran ibu Na. Ibu guru yang telah mengajar hampir tiga tahun di sekolah itu. Kamil sendiri menyadari bahwa salah satu kenakalannya telah terbongkar dan berakibat fatal. “Tapi, apa mau dibuat? Kelas begini membosankan!” Eluhnya di hati.
Sebulan yang lalu, tepat di hari dan waktu yang sama, juga masih dengan suasana yang nyaris sama, bahkan lebih buruk. Ketika itu bu Na masuk ke dalam ruang kelas dengan wajah yang seratus delapan puluh derajat siswa yakini pasti beliau saat itu tengah tertimpa musibah. Atau mungkin memiliki banyak hutang yang harus segera dilunasi. Atau mungkin juga beliau baru saja menjadi korban tabrak lari? Berbagai atau yang lain dan perkiraan yang tadinya begitu serius hingga perkiraan yang paling konyol terbingkai dalam benak dan pikiran siswa yang tak lama kemudian berlanjut menjadi pembahasan seru di dinding facebook sebuah grup. Wajah menyeramkan bu Na saat itu berbuah tindakan yang tak kalah mengejutkan pula. Seminggu sebelumnya di saat mata pelajaran yang sama bu Na telah memerintahkan setiap siswa untuk membawa daun kelapa yang masih berwarna hijau tua sebagai latihan membuat kulit ketupat. Kali tersebut, seminggu setelah perintah tugas itu, setiap meja telah dipenuhi oleh beberapa helai kulit kelapa. Bu Na menegaskan bahwa siapapun harus dapat membuat kulit ketupat yang biasanya siswa sendiri rasakan isinya merupakan lontong.
Di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, daerah di mana siswa berasal, menetap, dan bersekolah, jarang sekali ditemukan ketupat seperti yang menjadi tradisi di pulau Jawa. Bu Na menekankan bahwa keterampilan ini tidak boleh hanya dimiliki oleh anak perempuan saja. Penjelasan yang tidak mencapai waktu dua puluh menit itu menyimpulan sebuah keputusan bahwa mereka harus segera meletakkan dua helai daun kelapa di himpitan jemari di masing-masing tangan mereka. Nyaris semua siswa tidak memahami apa yang bu Na maksud. Beliau sibuk keliling meja siswa selama lima belas menit memberikan gambaran serta instruksi-instruksi selanjutnya. Di meja ke dua terdepan di sebelah kanan, Fathoni, masih belum mendapatkan apapun yang bu Na jelaskan dan arahkan. Tidak ada yang mampu menyalahkan lambatnya respon otaknya dalam hal meresap petunjuk dan informasi. Ia memang tidak berprestasi di akademik, tetapi ia merupakan seorang atlit basket kawakan di sekolah itu. Fathoni Ahmad dengan wajah tak berdayanya begitu sadar bahwa ia akan dapat murka wanita enam puluh taunan itu. Kedua tangannya sedikit gemetar. Dengan tanpa dapat ia percaya, ayunan tangan bu Na yang keras menghilangkan getaran yang timbul akibat suatu ekspresi tubuh yang mensinyalkan ketidakstabilan pikiran akibat tekana dalam pikiran. Suara keras itu mengejutkan seluruh siswa yang memang tengah merujuk pandangan mereka pada gerak-gerik rekannya. “Goblok sekali kamu Fathoni! Apa yang saya katakan tidak pernah masuk ke dalam pikiran kamu ya? Masa’ bikin kulit ketupat aja kamu mumet!”. Mendengar caci yang terlontar dari mulut gurunya, darah Fathoni semakin mendidih. Pukulan di tangannya yang membuatnya meringis perih juga tidak pernah ia dapatkan dari siapapun.
Ia tidak terima perlakuan itu. Seorangpun di muka bumi yang berumur jauh lebih tua, terlebih seumur orangtuanya, tidak pernah mengeluarkan kata yang begitu merendahkan harga dirinya itu. Terlebih di hadapan teman-temannya. Tiga puluh jenis mulut manusia yang mungkin saja akan menjadi sembilan puluh mulut serilaga di luar sana mungkin akan mengumbar-umbar kelemahannya itu. Ia semakin membenci segala sesuatu mengenai pelajaran, serta profil bu Na yang telah mendidik dengan cara yang tidak semestinya dan kelewat batas.
Sebenarnya, kali itu bukan hanya Fathoni yang belum mampu menyempurnakan tugas yang dituntut kepada mereka untuk dapat dikuasai, tetapi masih ada setengah lusin siswa lainnya yang segera menyelipkan dedaunan yang berbentuk memanjang itu menuju alur yang salah dan tidak sesuai perintah. Mereka tidak bersedia menerima kemarahan bu Na seperti yang telah diterima Fathoni oleh karenanya mereka lebih memilih untuk kerja asal-asalan demi menyamarkan ‘razia’ bu Na. Mungkin rasa hati dan pikiran bu Na saat itu memang tengah tidak menentu, oleh karenanya terlantunlah sebuah tugas dahsyat yang wajib mereka selesaikan di pertemuan berikutnya. “Masing-masing dari kalian harus membawa sepuluh lagu tradisional Aceh yang belum diaransemen sama sekali oleh siapapun! Ingat, kalau kalian mau dapat nilai bagus mata pelajaran ini, saya dapatkan tugas kalian minggu depan. Bagi siapapun yang tidak berminat dan berniat menyerahkannya, saya jamin, nilai kalian di mata pelajaran ini akan jadi nilai paling jelek di antara yang jelek”. Ujarnya menggebu seumpama monster di kepala setiap muridnya. Sebagian dari mereka mnghembuskan nafas seolah baru saja terlepas dari sarang serigala. Entah apa yang ada dalam benak guru yang satu ini.
Fathoni yang telah merasakan bagaimana sikap tidak baik gurunya itu merasa baru saat ini ia benar-benar menjadi korban. Ia berusaha mencari sebuah naungan yang mampu menampung unek-unek –nya terhadap sikap yang tidak patut ditolerir. Ia kira, hanya siswa yang tidak sopan yang tega membuat grup anti guru dimana seharusnya posisi guru itu harus dihormati. Kali itu, ia kesampingkan kebaikan etika yang selama ini ditanam dalam pola didik orangtuanya. Sebuah keresidenan dengan nama “Bu Nanas on Facebook” telah dibentuk menanggapi kejadian yang mengecewakan yang dialami oleh siswa SMA Putera Taruna dengan enam puluh lima orang yang terdiri atas siswa kelas satu hingga tiga. Grup ini juga merupakan kelompok tersembunyi. Seusai sekolah, setelah kejadian itu, sebuah undangan ia terima via facebook untuk terlibat dalam dewan kepengurusan grup anti bu Na. Ia terima undangan tersebut begitu saja, tanpa pikir panjang. Grup yang hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang terundang dan menerima undangan tersebut didirikan dan dipimpin oleh seorang yang tidak dapat diketahui. Sementara anggota yang direkrut telah lebih dari lima puluh orang dalam hitungan waktu tidak lebih dari tiga jam. Ia diundang sebagai eksekutif manajer yang ia sendiri tak mampu dan tak ingin mengerti maksud dari jabatan tersebut apa.
Tanpa menunggu banyak waktu yang terbuang, pembahasan seru mengenai keresidenan itupun dimulai. Hal-hal yang terkait dengan bu Na senantiasa dibahas di dinding grup. Berbagai kalimat mengomentari topik yang di-update setiap lima jam sekali. Tidak jarang kalimat-kalimat yang kurang bahkan tidak sopan muncul dari komentar rekan-rekan yang tidak mempunyai etika penggunaan situs jejaring tersebut dengan baik. Sementra jika Fathan menemukan hal tersebut, maka ia akan segera menghilangkan komentar itu dari dindingnya. Ia cukup mengomentari sesuatunya itu semestinya seperti komentar mengenai tugas pencarian lagu Aceh tradisional yang belum diaransemen sama sekali itu. Ia, kakak, ayah, ibu, bahkan bibinya telah ikut mencari dimana tugas rumah tersebut dapat ditemukan. Sayangnya, semua siswa memang mengeluh sulit setelah daya dan upaya mereka kerahkan. Fathan dapat merasa sedikit lega setelah bersama-sama berbagi kesulitan menghadapi segala sesuatu terkait bu Na. Hingga suatu ketika, saat dimana guru teknologi informasi mengomentari apa yang mereka perbuat di dinding grup tersebut.
Bu Ramadhani adalah seorang yang muda dan cantik. Pengalaman mengajarnya baru dua tahun. Tetapi, ia dinilai cukup mahir dalam bidangnya itu. Setelah dua minggu bersenang-senang memberikan komentar ini itu kepada bu Na, Bu Rama menasihati mereka untuk segera mengakhirinya. Ia sendiri tidak berkata jujur perihal apa yang ia ketahui.
Sehari setelah nasihat yang mereka dapat, serta rapat mingguan dewan guru usai, beberapa undangan resmi dari sekolah diterima oleh lima orang siswa. Sekolah mengharapkan kehadiran orangtua Fathoni, Mirza, Lukman, Haikal, dan Fikri di sekolah untuk membahas sesuatu yang tidak jelas maksudnya. Dua di antara nama tersebut adalah siswa kelas X-I sementara sisanya adalah siswa kelas X-II yang jelas merupakan siswa bu Na dan masuk dalam organisasi grup anti bu Na di facebook. Menyimpulkan demikian, siswa yang terlibat dalam grup tersebut mendadak risau. Hampir sebagian dari anggota grup segera mengeluarkan diri, termasuk ke lima anak yang harus mendatangi orangtua mreka ke sekolah esok hari.
Risau bukan hanya hinggap di hati para anggota grup. Galau juga dirasakan Kamil melihat kondisi teman-teman yang telah ia libatkan. Ia tidak tahu harus bagaimana sementara anggota grup tersebut semakin menyusut drastis. Ingin rasanya ia tiadakan keresidenan itu, tapi tidak mungkin. Ia khawatir identitasnya diketahui oleh bu Rama.
Sore itu, pukul 15.30 WIB bertempat di kantor kepala sekolah, bu Na, bu Rama, bapak kepala sekolah, serta guru bimbingan konseling ada di sana. Ke lima orangtua ataupun wali dari lima siswa yang dipanggil juga telah bersiap mendengarkan apa yang akan dibahas. Dimulai dengan ramah tamah hingga menuju poin pembahasan, kepala sekolah telah memegang beberapa lembar data hasil print dari internet. Beliau menunjukkan kepada orangtua muid yang begitu penasaran perihal maksud kedatangan mereka ke sana. Panjang lebar pak Bahrudin menjelaskan apa yang terjadi dengan siswanya yang telah menyalahgunakan internet dan jejaring sosial. Beliau begitu menyesali atas apa yang terjadi pada bu Na, salah satu guru di sekolah itu yang telah menjadi korban hinaan, cacian, serta gosip siswanya. Kelima siswa juga dipanggil kehadirannya guna kesaksian langsung atas apa yang mereka perbuat. Fathoni, selaku eksekutif manajer bingung atas apa yang telah diperbuatnya dengan tanpa sengaja. Ia ceritakan segala sesuatunya berdasarkan fakta. Begitu juga keempat siswa lainnya yang hanya menjabat sebagai anggota namun terhitung keterlibatan mereka adalah yang paling aktif. Kelima orangtua yang hadir itu merasa tersinggung, marah, dan kecewa terhadap putera mereka. Meskipun kesaksian telah dilakukan dan menyatakan bahwa pihak yang salah bukan hanya kenakalan siswa, tetapi juga faktor guru, bu Na tetap tidak mau mengerti. Ia merasa nama baiknya hancur dibuat oleh siswanya sendiri. Ia begitu marah mendengar apa yang dilaporkan oleh bu Rama sebelumnya. Ia tidak terima siswanya membalas dengan cara demikian. Dengan keterbatasan pengetahuan mengenai situs facebook dan cara penggunaannya, ia semakin merasa bahwa nama baiknya rusak total di hadapan sejuta pengguna facebook se-Indonesia. Ia tidak akan terima musyawarah tersebut hanya menghasilkan kata maaf dan jabatan tangan biasa. Bu Na dengan penuh emosi menyatakan bahwa permintaan maaf harus dipublikasi yakni maaf melalui media informasi apapun, cetak ataupun elektronik. Jika tidak, beliau akan menuntut hal itu ke pengadilan perihal perusakan nama baik. Ia, saat itu, tidak ingin mengerti meskipun penjelasan telah ditegaskan oleh Fathoni bahwa ia dan rekan-rekannya hanya menuruti undangan atau ikut-ikutan tanpa tahu siapa yang menciptakan grup tersebut.
Entah ini musibah atau cobaan bagi ayah Fathoni karena keputusan menyatakan bahwa ia dan juga ayah dari Mirza yang harus bertnggungjawab melalui media. Mereka, orangtua murid, sepakat bahwa akan menyatakan permintaan maaf secara resmi melalui koran harian yang terkemuka di daerah.
Sehari setelah itu keluarga Fathoni dan Mirza muncul di sudut kanan halaman terdepan koran yang paling laris dibaca. Mereka mengucapkan maaf kepada ibu Karlina Nasution dan berjanji takkan mengulangi perbuatan itu lagi. Dan alasan yang tidak dipublikasikan jelas-jelas menimbulkan tanda tanya di pikiran pembaca media tersebut.
Sekarang ini, di tengah hari yang berhias mentari, Kamil masih jelas mengingat apa yang telah diperbuatnya. Namun ia masih yakin bahwa pemahaman bu Na mengenai teknologi internet hanyalah sebatas laporan dari bu Rama. Kamil masih sangat bersemangat mengurusi dan memimpin grup dan anggotanya yang baru, “Anti NANAS” yang bukan lagi grup tertutup, melainkan terbuka untuk umum sehingga bagi setiap orang yang mau bergabung, dapat saja dengan mudah masuk ke sana.
Sementara di depan sana, sesosok guru berjalan hilir mudik mencoba melakukan transfer ilmu. Setelah kenyataan ia dapatkan, pahami, dan mengerti bahwa Kamil, putera kerabat dekat sekaligus orang yang telah berjasa memberikannya pekerjaan ini, adalah pelaku utama perusakan nama baiknya. Dengan hati yang penuh marah. Ingin rasanya ia berteriak “Kamil! Hentikan semua ini!”.
Duduk santai di sudut sana Kamil bersama seratus tiga puluh lima orang teman-temannya, di dalam grup yang diciptakannya, mengomentari gerak-gerik bu Na setiap inci-nya. Ia tidak peduli. Tak ada yang mampu mengendalikan ini.

berdasarkan kisah nyata

1 komentar: