Sabtu, 21 Januari 2012

Aku Ingin Sekolah Oleh Meta Keumala


Udara hari ini begitu panas. Kurasa uapnya memaksa butir-butir keringat di pori-pori tubuhku membanjir. Teriknya membakar kulitku hingga menembus ke tulang. Aku benci suasana seperti ini. Namun, tuntutan tugas ini tak ‘kan mungkin dapat kuhentikan tanpa tanggungjawab. Aku masih sangat bersyukur ini bukanlah hari di bulan ramadhan, karena jikalau ya, maka menahan nafsu untuk minum seteguk air benar-benar merupakan perang badar buatku, lalu kemudian menjadi kemenangan besar apabila kuraih maghrib. Akan tetapi, atas seberapapun rintangan itu, aku akan terus bersyukur karena hidupku. Hidupku sendiri adalah suatu anugerah yang tak dapat disamakan dengan sesuatu apapun. Toh yang hanya dapat kumiliki dalam hidupku hanyalah ruh yang berbalut jasad karena aku tak memiliki apa-apa.

Aku haus, sangat haus. Rasanya kerongkongan ini begitu kering dan perih. Sekeliling bibirku seperti terbakar. Sekejap mataku menangkap beberapa sosok mahasiswa dari kejauhan. Mereka berjalan sejajar, meski berbeda langkah, tetapi mereka menggenggam benda yang serupa. Gelas-gelas plastik bening, yang bertutup seperti mangkok terbalik, berisi air berwarna merah muda, mengandung es dan tampak sangat menyegarkan. Aku yakin, jika segelas saja dapat berada dalam genggamanku dan isinya kureguk, akan menjadi obat dari penderitaan ku saat ini. Manis. Pasti rasanya sangat menyegarkan!

Mereka terus melangkah, menuju ke arahku, dua orang dari mereka mengayunkan gelas-gelas itu. Aku berharap salah satunya terlempar dan dapat kutangkap. Ah! Hayalan aneh, lagi-lagi menyapaku. Bodoh. Kuakui keputusanku membeli sebuah handphone baru adalah kesalahan! Meskipun yang kubeli itu terbatas hanya sekedar untuk mengirim pesan, menjawab telepon dan mendengarkan radio, tetapi aku benar telah menghabiskan uang cadanganku. Setidaknya, kan, aku dapat membeli segelas seperti yang mereka beli.

Tanpa kusadari, tiba-tiba sebuah benda nyaris jatuh ke atas kepalaku. Salah satu dari gelas itu jatuh! Hah? Aku bahkan tidak menyadarinya karena hayalanku. Gelas berisi air merah muda itu terjatuh begitu saja, terbaring tak berdaya menumpahkan isi tubuhnya. Sementara aku yang masih kehausan terpana menyaksikannya. Naasnya lagi, ia jatuh melewati kepalaku seolah rizqi yg tak sanggup kuperoleh.

Aku di bawah sini, di dalam parit ini, hanya dapat tercenung. Mereka, tiga gadis yang menampilkan diri berkecukupan dengan santainya melewati aku tanpa mereka tahu bahwa aku hampir saja menjadi koban salah satu dari mereka.
“Kenapa kè buang, Ris? udah tu kè buang pulak ke paret! Kok banjir kè yang salah ya!” Tanya salah seorang rekannya dengan bahasa Indonesia yang terpadu logat Aceh yang kental. “Banyak kali es batunya pening kepalaku jadinya, malas kuhabiskan.” Sahut gadis manis bekulit putih itu.
Geram ku dengar jawabannya. Dalam refleks celotehku bervolume lumayan, “Ureung lagak, tapi beh broh baranggapat.”(Orangnya cantik, tapi buang sampah sembarangan.) Gadis-gadis itu sontak mencari suara. Namun mereka tak berhasil menemukannya karena tak ada satupun dari mereka yang menghentikan langkah dan menyadari bahwa aku berada di bawah.

Proyek pembangunan drainase se-Banda Aceh ini tengah kujalani. Bersama sejumlah rekan sekerja yang kebanyakan dari pulau Jawa, kami masih berusaha menyelesaikan proyek di seputaran kampus Universitas Syiah Kuala, dimana ribuan mahasiwa wara-wiri membuatku tak henti iri. Aku iri karena mereka mampu. Otak mereka mampu mengungguli siswa-siswa lain, atau sekalipun banyak tudingan bahwa kebanyakan dari mereka juga menggunakan dana besar sehingga mereka dapat meraih gelar yang sangat kudambakan “Mahasiswa Unsyiah”, aku tetap merasa mereka memang beruntung. Ah, lagi-lagi dambaan bodoh dan omong kosong bagiku. Bagaimana bisa seorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama dapat menyusup sambil melompat untuk menjadi mahasiswa?
Bayangan masa kecilku kembali bergelayut di kepalaku. Tidak, bukan membayangi seperti biasanya, tetapi menghantuiku! Ya, karena begitu menyeramkan buatku. Aku putera sulung dari tiga orang bersaudara. Ayahku seorang petani di desa yang indah dengan sumber alam yang melimpah. Beliau, berkulit cokelat dengan raut muka bijaksana dan bermata teduh, adalah sosok yang berpengaruh penting dalam hidupku. Segala ucapnya penuh nasihat. Beliau senantiasa berkata bahwa setiap yang kami miliki merupakan harta dan anugerah yang tak ternilai harganya. Pesan moral itu senantiasa ada dalam relung otakku.

Ibuku seorang pekerja keras. Beliau membantu ayah mengerjakan pekerjaan di ladang. Selebihnya, beliau membuat tikar pandan anyaman yang indah. Beliau mendidik kami dengan keras dan disiplin. Namun sayangnya, beliau hanya sempat mendidik aku dan adik perempuanku yang pertama, karena tatkala beliau melahirkan anaknya yang terakhir, beliau turut menghabiskan nafas terakhirnya. Bagiku, kepergiannya adalah mimpi buruk yang menyisakan pahit berkepanjangan.

Setelah kepergiannya, serta merta ujian dari Tuhan tak henti. Ayahku terlibat dalam suatu pergerakan rakyat menentang negara. Ilmuku masih terlalu sedikit untuk memahami apa yang tengah ayahandaku kerjakan yang kemudian berdampak malapetaka bagi aku dan adikku kala itu. Keluarga dan kerabat orangtuaku menjauh karena tak mau kecipratan masalah. Dua orang adikku masih duduk di bangku kelas 1 dan 2 SD saat perpisahan menyeramkan itu sekali lagi harus kualami. Adik perempuan pertamaku terpaksa ayah ungsikan ke Lhokseumawe untuk melanjutkan sekolahnya. Beliau mengandalkan sepupu perempuan ibuku yang menetap di sana untuk menjaganya lantaran kondisi kampung kami semakin mencekam karena klimaks konflik Aceh kian memuncak.
Seorang adikku lainnya kuasuh sebisaku. Sementara ayah, sibuk dengan rekan-rekannya yang lain bersama misi yang mereka bawa. Sekolah kuabaikan, selain itu juga karena sulitnya akses ke sekolah akibat dari panasnya kondisi kampungku. Sawah dan binatang ternak adalah proyekku. Saat kesibukanku itu memuncak, sekelompok orang yang entah dari mana asalnya mendatangi rumahku, yang ku tahu ayah tengah berada di sana bersama adikku untuk makan siang. Aku berladang tak jauh dari rumah saat suara tangis meraung diiringi tembakan senjata meletus. Aku kaget. Firasatku kuat mengatakan bahwa suara itu berasal dari rumahku. Itu tangis adikku! Aku berlari pulang.

Kudapati tubuh adikku bersimbah darah. Pinggangnya terkena peluru. Sementara piring berisi nasi yang belum habis disantap masih ada di atas tikar. Rumahku yang beralaskan tanah menyerap seketika darah serta pandanganku. Gelap. Aku limbung.
Aku tersadar di sebuah rumah yang tak kukenal. Seseorang membangunkanku.
“Dimana adikku? Dimana ayahku?” pertanyaanku tercekat lalu tertelan di dalam kerongkonganku.
“Adikmu meninggal dunia, sebentar lagi kita makamkan bersama-sama.” Seorang yang cukup familiar, rekan ayahku, menjawab pertanyaan yang bersembunyi di balik hatiku.
“Innalillahi…” Aku menitikkan setitik air mata di sudut mata kiriku. Toh percuma aku menangis, menjerit, menyumpah. Semua yang telah diambil-Nya takkan kembali lagi.
Seusai pemakaman berlalu aku mempelajari jalannya waktu yang terbingkai pilu. Tanpa perlu kutanya pada siapapun, aku tahu ayahku menghilang. Diculik. Pasti sekelompok orang itu membawa serta ayahku. Beliau tidak mungkin meninggalkanku sendiri. Harapku, ayah akan kembali.
Tetapi waktu berjalan merangkak. Aku tak ingin berada di tengah-tengah sumber api. Panas. Aku memilih pergi. Kutitipkan salam cintaku untuk ayahku, jikalau ia kembali suatu waktu nanti, kepada rekan-rekannya.
Beginilah aku sebatangkara. Dulu ayahku pernah bercerita tentang keluarganya. Tentang pamanku yang tinggal di kampung yang cukup jauh untuk kami datangi karena kami tak memilki kendaraan untuk mencapainya. Inilah dampaknya persaudaraan tanpa ikatan silaturahmi. Aku tak mengenal keluargaku sendiri.
Seseorang berkata aku dijemput di sebuah terminal angkutan antar kabupaten. Aku akan menemui saudara sepupu ayahku. Aku menurut. Seseorang yang kutemui itu memiliki sedikit banyak kesamaan dengan ayahku, wajahnya teduh dan tutur katanya penuh nasihat. Ia memohon maaf kepadaku karena ketidaksanggupannya merawatku. Oleh karenanya, ia akan menitipkan aku pada seorang saudagar kampung.

Masih ada sebuah harap yang kutaruh. Adik perempuanku seorang lagi. Jika cukup uangku nanti, kan kutemui ia. Tetapi Allah Ta’ala masih senang mengujiku. Bencana besar yang mengakhiri kelamnya konflik di Aceh dating. Tsunami merenggut adikku. Menjemputnya untuk berkumpul bersama orangtuaku serta saudaraku di suatu tempat yang tak terjangkau oleh daya pikirku. Kepedihan masih tak ingin lekang dari hati ini. Selepas aku menamatkan Sekolah Menengah Petama, saudagar itu melepasku. Ia yang selama ini membiayai sekolah dan hidupku. Aku hanya mampu mengucapkan terima kasih kepadanya.

Aku benci orang-orang yang mengasihaniku tanpa benar-benar menunjukkan rasa kasih mereka kepadaku. Hatiku masih teriris setiap kudengar kerabat dekat keluarga ayahku ataupun relatif kami berkata di belakangku tatkala aku mengunjunginya: “Sayang dia. Yatim piatu. Ayahnya diculik. Entah sudah meninggal atau masih hidup. Yang jelas, ayahnya tidak pernah ditemukan keberaadannya sampai detik ini.” Ucapan-ucapan serupa tidak hanya sekali kudengar. Ku maki mereka dalam hati, “Kalian disana! Tidakkah kalian tahu aku tidak butuh ucap kasihan yang omong kosong itu? Jikalau kalian peduli, kenapa kalian biarkan aku terkatung-katung seorang diri? Mengapa aku ditinggalkan?” Oh, ayah, aku tahu kau tidak akan pernah tega meninggalkanku sebatangkara seperti ini.
***

Kini aku terduduk, masih di sebuah parit di sekitar kampus. Aku masih iri, mungkin akan terus iri. Aku terhenyak menyadari nasibku nyaris serupa dengan Arai yang terkisah di sebuah novel favoritku yang kupinjam dari seorang teman mahasiswa. Suatu waktu nanti, kan kudapatkan mimpiku untuk menjadi seorang mahasiswa! Pesan ayahku, setiap yang kami miliki merupakan harta dan anugerah yang tak ternilai harganya. Diriku adalah satu hal yang kumiliki saat ini.

Penulis:
Meta Keumala, Mahasiswi FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala Angkatan 2007

1 komentar: