Kamis, 22 Juli 2010

My writings-All my works

Ayahku Buta
Oleh Meta Keumala
Firdaus di siang ini...
Menyengat, perih. Kulitku berlumur keringat. Lecet di telapak tanganku, menambah payah hari ini. Sepasang berharga ini tak cukup tahan merespon panasnya sinar sang surya. Lelahku meringis sejak tadi, namun ayahku tetap diam. Memang selalu begitu, hanya diam.
Aku biasa menjadi kuli angkut barang di pasar, persis di mana aku juga melakukan pekerjaan yang sama. Aku memiliki empat orang adik perempuan, harus memikirkan bagaimana kelangsungan biaya sekolah mereka karena orangtuaku tak sepenuhnya dapat diandalkan. Jabatan mereka cuma kuli. Apalah daya tubuh mamak dan ayahku, kerana beberapa organ penting yang tak berfungsi, maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa takkan ada pekerjaan yang ‘kan cukup memapankan kami, anak-anak mereka, karena keterbatasan-keterbatasan itu. Begitulah garis keturunan kami, amat sangat sederhana.
Ayahku nyaris tidak pernah tersenyum. Bahagianya adalah sekuntum kata terima kasih, dengan bahasa sederhana, kepada siapa saja. Adalah senyum yang tulus akan terlahir jika adik-adikku masuk ke dalam peringkat 10 terbaik di kelas.
Karena ia jarang tersenyum, ia tidak mau tertawa. Mamakku beralasan, tertawa itu takabbur, banyak tertawa saudara syaitan.
Aku dan ayah akan selalu bersama, seperti biasa, kami akan melangkah nyaris ke mana saja berdua. Kecuali, saat aku harus sekolah, karena pasti beliau akan sedang sibuk dengan kerupuk ubi yang adonannya sudah dibuat dan dikeringkan mamak. Maka dipastikan juga saat itu ayah akan sedang duduk di atas jengkok kayu lapuk yang dibuatnya. Duduk ia dihadapan minyak goreng panas dengan suhu api yang cukup menghirup segenap oksigen di sekelilingnya. Setelah itu, dengan sebatang kayu pohon beringin yang cukup kokoh sepanjang satu meter berdiameter lima senti akan menemaninya menuju sekolahku. Sambil meraba-raba badan jalan yang telah diingat seumur hidupnya. Kadang beberapa orang berakhlak dan hati mulia akan dengan sangat terharu membantunya menuju sekolahku. Maka saat-saat itu akan menjadi beberapa patah kalimat sederhana sebagai ceritanya kepadaku, bahwa laki-laki atau perempuan-perempuan itu sungguh malaikat. Seperti itulah akhlak yang diinginkannya ada pada anak-anaknya kelak jika kami kaya nanti. Yah, enam atau tujuh kalimat saja, sisanya, tak perlu ditanya, karena aku sendiri bukan penanya yang baik. Aku tak mau usik pikirnya. Aku bukanlah peminta, apalagi perengek. Cukup yang aku perlu adalah pikirkan masa depan kami.
Akulah yang selalu bangga kepada diriku karena aku merasa menjadi The Thinker, si patung pemikir yang menakjubkan.
Ayah sangat membutuhkan aku, ke mana pun, di mana pun. Seperti saat ini. Lagi.
Aku lelah, gerutuku di hati. “Ayah, tahukah engkau aku ingin sekejap waktu untukku sendiri? Aku ada di puncak titik jenuh, ayah! Aku mau aku! Ah ayah, kenapalah aku perlu merasa bersalah meninggalkna engkau bepergian sendiri? Kalau bukan karena sekelompok orang biadab yang merampokmu itu!” Aku mengamuk si tenggorokanku. Tanpa suara pun terdengar. Hanya desahan nafasku. Entah apa yang ada dalam pikirku saat ini. Saat kucoba hentikan labi-labi yang akan membawa kami ke pasar ikan. Cukup jauh kami berjalan untuk mencapai ini dari kediaman. Nyaris 1 kilometer. Bukan karena ketiadaan angkutan umum yang melewati jalan rumah kami dan sekolahku, tapi kerana empat lembar uang seribu rupiah itu berharga untuk adik-adikku.
Manakala hari tepat berada di tengah puncaknya, seusai sekolah, adalah saat paling tepat untukku nyaman berdo’a, di situlah saatku mengadu pada Allah Swt, Tuhan yang amat kuyakini keberadaannya. Kubermohon semoga Dia mau mempermudah setiap langkah kami, supaya mamakku tak perlu lagi mencuci baju orang, supaya kaki mamakku segera sehat, supaya ketiga adikku bisa terus mengecap bangku sekolah setinggi-tingginya, supaya sepasang mata ayah bisa melihat, supaya ia tahu bahwa deru ombak yang bersyair cinta menurut keyakinannya itu - hal yang sangat ingin dilihatnya - memang adalah hal luar biasa di bumi, dan agar supaya-supaya yang lain yang selalu aku upayakan tiap siang didengar dan diijabahNya. Malam-malamku adalah saat derajatku menjadi lebih tinggi, guru bagi adik-adik yang butuh bimbinganku untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Ah, alangkah bahagianya jadi guru, pekerjaan sederhana, mengoper ilmu tanpa pelit sampai murid pandai. Semoga suatu waktu nanti aku mampu mengangkat derajat keluargaku dengan pekerjaan mulia itu. Toh, aku muak melihat pemimpin-pemimpin omong kosong. Yang dilakukannya hanyalah koleksi dosa. Na’udzubillah.
***
Dinar di siang ini...
Lompatku segera ke atas labi-labi berpintu kecil yang tanpa sengaja kuantukkan kepalaku. “Sial!” desisku. Music player dari handphone paling murah yang pernah kumiliki ini sedikit mengiburku. “I’m tired of being what you want me to be, feeling so faithless. Lost under the surface” bait demi bait kalimat-kalimat itu keluar dari faring Chester Bennington, vokalis band yang amat kugemari. “ ... every step that I take is anther mistake to you!” begitulah aku, bagi papa, adalah kesalahan dalam hidupnya. “I’ve become so numb...” Sungguh muak! Aku benci papa!
Dua orang laki-laki memberhentikan labi-labi yang aku tumpangi. Dari jauh, nampak jelas kalau mereka papa dan anak. Ups, papanya coba meraba. Ia tidak melihat. Kuraih lengannya kubimbing duduk di hadapku. Raut wajah mereka berdua lelah. Putera yang mendampinginya miris sinis melihatku. “Lho, bukan maksud menghina dek, Cuma pengen bantu!” ucapku dalam hati. Nah, dia sendiri yang gak mau bantu papanya!
Ah, papa, lagi-lagi papa! Aku juga punya papa. Dia juga buta. Mata hatinya tak mampu melihat meski bisa. Mungkin karena sistem kerja otaknya telah serusak hatinya oleh karena itu dia jadi tak mampu?
Akan kuingat puncak amarahnya pagi tadi yang telah membawaku menumpangi labi-labi berbau aneh ini. Seluruh benda milikku disitanya! Seluruhnya! Padahal semua itu adalah hasil kerjaku sendiri, modal dari mama! Oh mama, putera manjamu ini rindu mama. Bagaimana kabar mama di sana? Mama, maaf, aku lupa cara mendo’akanmu. Terlalu dini aku mempelajainya hingga aku lupa.
Berita di koran pagi tadi “Skandal Video Mesum Presiden direktur Bank Sabenaraseuki Kembali Terungkap”. Bodoh. Papa memang tidak pandai. Hal sepele semacam itu mampu menjerembabkannya. Dasar perempuan biadab! Mau dapat harta dengan cara yang benar-benar menjijikkan. Ah, itu pasti karma bagi papa. Sebagaimana dulu ia menghamili kekasihnya, mama, di luar nikah demi harta warisan dan nama terhormat yang telah dimiliki kakek. Tragis memang nasib mama. Sesosok perempuan cantik nan anggun yang terkena pola didik liberal sebagaimana yang dianut dan dipolakan kakekkepada anak-anaknya. Mama bukan lugu, hanya sedikit rusak pikirannya karena pola hidupnya di kota. Adalah seorang laki-laki kampung yang diyakininya sepolos-polos laki-laki yang ia kenal, papa, yang dengan alasan tanpa sengaja menghamilinya sehingga terpaksa harus mempertanggungjawabkannya. Ah, Tuhan ampunilah dosa mamaku tercinta.
Berita itu lagi-lagi diangkat wartawan. Cukup sudah malu. Apa kata teman-temanku nanti? Belum lagi dosen-dosenku yang lagaknya macam ustadz yang ‘kan menyindirku di muka kelas. Tepat di wajahku. Padahal telah kuberusaha keras menjadi pelajar yang mampuunggul dan jadi luar biasa dengan bakat alamiku sendiri. Bukan karena papa! Ah, percuma. Toh semua orang buta! Buta seperti papa! Yang dia tahu hanya jelekku, padahal segenap syaraf di otakku memikirkan tiap-tiap pelajaran dan usaha bisnis yang sedang kujalani. Yang papa tahu hanya aku yang tak sengaja kepergok salah seorang premannya di sebuah bar, di salah satu kota terbesar di negeri ini. Papa tak akan mau tahu betapa ku juga mau seperti dia, mengistierahatkan sebentar beban otak dan sel-sel darah yang selalu panas dibakar klien, wartawan, dan masyarakat di dunia gemerlap.
“Pergi! Kalau kamu ingin tunggu kata usiran itu secara jelas dari mulut paapa, maka pergilah! Kamu memang tak ada guna! Tidak akan penah! Yang kamu mau cuma hidupmu sendiri, tanpa pikir nasib papa. Ingat, ini kali terakhir terucap dari dalam mulut papa. Kamu tidak akan dapat apapun dari papa. Bahkan tidak handphone di genggamanmu itu! Anak manja tak tahu diri!”
Maka hanya dengan pakaian di badan, setumpuk uang, yang tiap lembarnya senilai seratus ribu, yang sempat kutarik karena pegawaiku mengatakan akan membutuhkannya siang ini untuk biaya perawatan ibunya, dan hp di genggamanku, aku nekad pergi.
***
Aku asyik menatapi laki-laki muda di hadapan ayah. Telepon genggamnya bagus. Ia nampak asyik medengarkan musik yang keluar langsung ke telinganya melalui earphone yang dipakainya. Ah, alangkah senangya. Pasti lebih rileks. Ayah juga bisa dengar lagu-lagu Rhoma Irama dan Nike Ardhilla dari sana. “Aku simpan gaji lima bulan ini dan ke depan nanti untuk beli itu ya, ayah?” Ah ayah. Pertanyaanku hanya terucap di hati.
***
“So much for my happy ending!” Avril berteriak di telingaku.
Sumpahilah aku papa! Bahagia ku mendengarnya.
‘Kan kututup kisah hari ini dengan senyum Anita dan bundanya di Rumah Sakit Umum Daerah nanti. Dan aku juga akan berjanji kepada almarhumah mama untuk segera mengembalikan Tuhan dalam memoriku.
***
Darussalam, menuju sepertiga malam yang menuju hari ke tujuh bulan Februari tahun 2010.
Inspirasi menulis berbait-bait kalimat ini adalah;
• Seorang anak usia sekolah menengah atas dan yahandanya yang tidak mampu melihat dengan pakaian dan wajah lusuh mereka. Saat-saat itu kuteliti dan menghayalkan sosok mereka di labi-labi yang kutumpangi menuju tempat mengajarku, sebuah bimbingan belajar yang cukup terkemuka se-Indonesia bagi anak sekolah.
• Sedemikian banyak kasus pemimpin zaman sekarang beserta pola kehidupan anak eturunan mereka yang teramat glamor dan angkuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar