Pelangi -It's All About My Creativity-
“Life is like a rainbow. You need both the sun and the rain to make its colors appear.”
Selasa, 31 Januari 2012
My Beloved D1 "kosan Trcinta :)"
dulu.. waktu sma tak pernah membayangkan akan jauh dari rumah apalagi orgtua... ternyata, demi memenuhi keinginan ortu dan keingintahuan diri sendiri akhirnya dpt kesempatan utk mnimba ilmu di Aceh... dari (asal; tempat kelahiran dan dibesarkan) Jakarta ke Aceh (kampung ortu) sangat jaaaaaaaaaaaaaaaaaauuuuhhhhh letak, adat, kebiasaan, bahasa (gaya bicara), dll BERBEDA! haduuuhhhhh... awalnya bener2 aneh dan menyebalkan (kesel, karna biasanya klo susah ada my beloved parents, brother and friends...) lha wong baru tinggal di kos bener2 ga punya apa2 (know nothing) apalagi temen mengadu... hiks,,, baru masuk kos, ehh masih kosong... walhasil,, kesabaran, ketegaran, dan keteguhan membuahkan hasil.. :) (Jiyeeee :D ) satu persatu kos terisi penuhhhh dan merekalah, penghias kehidupan awalku menapak di Aceh... karna menurut nabiyullah Muhammad saudara trdekat adalah tetangga... dan merekalah tetanggaku... :) saudaraku... :)
Kami bersama di perantauan (rata2 anak luar banda aceh juga soalnya) dan memulai segala sesuatunya dengan benar2 baru...
Sabtu, 21 Januari 2012
Bu Nanas on Facebook oleh Meta Keumala
Terik. Jendela yang ada di sekeliling ruang bukan membantu menghantarkan angin ke dalam, tetapi justru menyaring sengatan matahari, lalu memantulkan sekaliannya itu menuju tiap-tiap bangku siswa kelas X-I SMA PutraTaruna. Meskipun ada pepohonan di muka kelas, tetapi hanya pepohonan gantung saja. Siswa sekolah swasta terbaik di daerah itu hanya mampu menikmati rindangnya pohon buah-buahan jika mereka berada di sudut kiri sekolah. Jika tiba musimnya, mangga harum manis akan sangat nikmat dipanen. Begitu juga rambutan yang meski tidak berubah warna, senantiasa hijau, akan tetap manis rasanya. Sekolah Menengah Atas itu hanya memiliki seratus tiga puluh siswa yang kesemuanya adalah laki-laki. Bangunan sekolah tidaklah terlalu megah, namun fasilitas serta guru yang tersedia diakui cukup kompeten dalam bidangnya masing-masing. Tak mengherankan jika siswa di sana senantiasa mengecap prestasi dalam berbagai olimpiade.
Peluh tak terperi. Semua siswa, yang tak menikmati jalannya sistem belajar mengajar hari itu, mengeluh dalam hati. Nyanyian lambung mengirim sinyal ke otak mereka bahwa telah tiba waktunya untuk makan siang. Lima huruf menggambarkan perasaan mereka saat ini yakni BOSAN. Kelas tersebut berisi tiga puluh orang siswa laki-laki yang nyaris hampir tiap individunya berprestasi dan pernah mengharumkan nama sekolah.
Hanyalah tiap kali tersebut ini, mereka akan merasakan betapa metode ceramah dalam mengajar di siang hari amatlah tidak tepat. Akan tetapi, suara protes ringan dari bibir mereka tidak akan boleh terdengar di telinga wanita yang berjalan mondar-mandir bak peragawati di hadapan mereka itu.
Di sudut belakang sana, Kamil, siswa yang terpandai ke lima urutan kepandaian di kelas, mulai kehabisan akal. Ia telah coba memenuhi buku catatan pelajaran Bahasa Daerah -nya dengan gambar-gambar tokoh manga favoritnya. Kini, setelah ia merasa cukup bosan, ia keluarkan telepon genggamnya yang tak tanggung-tanggung, Blackberry yang membuat mata rekan-rekan serta abang-abang kantin di sekolahnya berdecak kagum. Tak pernah ia lepaskan handphone itu dari genggamannya, apalagi dari jemari lentiknya, terkecuali ketika kelas akan memulai pelajaran. Kali ini, ia bantah prinsipnya. Ia akan tetap stay on line dalam dunia maya demi mengenyahkan kebosanannya.
Kamil merupakan putera pejabat daerah yang hidup mandiri bersama seorang kakak perempuannya di salah satu rumah milik ayahnya, yang beberapa lainnya tersebar di penjuru daerah penting. Kamil Malik termasuk seorang siswa yang mandiri dan penggiat belajar. Tanpa segan dan malas ia datangi sekolah dan tempat bimbingan belajar. Tak seperti kawan-kawannya yang lain, yang juga putera pejabat, yang tak mau peduli dengan segala sesuatu mengenai pendidikan. Akan tetapi, di balik ketekunannya, jiwa nakalnya sebagai pemuda juga masih melekat baik dalam kepalanya. Rekan-rekannya menjulukinya “The Trouble Maker Somewhat Intellectual”. Kenakalan-kenakalannya tersembunyi dalam berbagai kecanggihan teknologi informasi saat ini.
Ya, seperti sekarang ini, ibu guru nya itu yakinnya tidak tahu apa yang tengah ia dan gadget kesayangannya itu lakukan. Ia tatap layar telepon genggamnya, senyum tersimpul di sudut bibir seraya mengukir beberapa kata di dinding pofilnya. Sebuah topik yang ia coba mulai bahas dan perbincangkan bersama teman-teman sekelasnya melalui facebook, situs terkemuka yang tengah tren sebagai jejaring sosial paling laris di Indonesia belakangan ini. Sementara di hadapannya, sesosok wanita paruh baya dengan sebuah spidol whiteboard di genggaman tangannya sibuk mengutarakan tentang ini-itu yakni haal yang begitu membosankan siswa ‘abg’ umur belasan masa kini, juga tentang ketidak-unikan sesuatu hal, terlebih sesuatu yang sifatnya monoton.
Sejuta kata terpendam dalam pikiran tiap-tiap siswa yang menatap buk Na, begitu ia biasa disapa. Wanita yang belum pernah merasakan mahligai rumah tangga itu bernama lengkap Karlina Nasution. Pada awalnya, ia bukanlah tamatan sekolah perguruan ataupun universitas yang khusus membidangi ilmu mengajar murid. Beliau hanyalah siswi tamatan sekolah kejuruan yang tidak ada kaitannya dengan ilmu pendidikan. Hanya saja, beliau terlahir sebagai puteri budayawan kenamaan yang telah tiada sehingga dinilai mampu mentransfer ilmu budaya yang ia miliki sebagai warisan dari almarhum ayahandanya. Kelebihan yang beliau miliki yakni mampu berbicara beberapa bahasa daerah dengan cukup lancar. Karena masih menerapkan sistem kuno pada tiap-tiap pertemuannya bersama muridnya, ia dinilai tidak asyik seperti apa yang diharapkan siswa SMA pada umumnya. Proses transfer ilmu yang beliau lakukan senantiasa menimbulkan kejenuhan.
Siswa yang usil membuatkannya nama panggilan yang cukup menggelikan di kalangan mereka yakni sebutan bu Na Nas karena performa luar yang kurang ramah alias berduri-duri, nanas seperti ibu guru tersebut adalah jenis asam dan tidak ramah rasanya di indera pengecap remaja. Itulah fase kehidupan mereka saat ini.
Keyakinan Kamil bahwa ibu gurunya ini tidak mengetahui ulahnya bersama gadget-nya adalah salah. Sekarang ini bu Na, yang belum pernah merasakan pendidikan komputerisasi di zaman ia sekolah dahulu, telah memahami sedikit-banyak tentang situs jejaring sosial yang ia nilai telah merusak nama baik serta citra-nya dihadapan semua orang yang terlibat dalam jejaring itu. Seorang ‘mata-mata’ telah disewa ibu Na guna mengendalikan terbitnya kalimat-kalimat komentar yang ia khawatirkan akan merugikannya. Fathan, seorang mahasiswa Fakultas MIPA Ilmu Komputer universitas terkemuka di daerah yang ahli dalam bidang teknologi informasi itu stay on line pada setiap berlangsungnya mata pelajaran ibu Na. Ibu guru yang telah mengajar hampir tiga tahun di sekolah itu. Kamil sendiri menyadari bahwa salah satu kenakalannya telah terbongkar dan berakibat fatal. “Tapi, apa mau dibuat? Kelas begini membosankan!” Eluhnya di hati.
Sebulan yang lalu, tepat di hari dan waktu yang sama, juga masih dengan suasana yang nyaris sama, bahkan lebih buruk. Ketika itu bu Na masuk ke dalam ruang kelas dengan wajah yang seratus delapan puluh derajat siswa yakini pasti beliau saat itu tengah tertimpa musibah. Atau mungkin memiliki banyak hutang yang harus segera dilunasi. Atau mungkin juga beliau baru saja menjadi korban tabrak lari? Berbagai atau yang lain dan perkiraan yang tadinya begitu serius hingga perkiraan yang paling konyol terbingkai dalam benak dan pikiran siswa yang tak lama kemudian berlanjut menjadi pembahasan seru di dinding facebook sebuah grup. Wajah menyeramkan bu Na saat itu berbuah tindakan yang tak kalah mengejutkan pula. Seminggu sebelumnya di saat mata pelajaran yang sama bu Na telah memerintahkan setiap siswa untuk membawa daun kelapa yang masih berwarna hijau tua sebagai latihan membuat kulit ketupat. Kali tersebut, seminggu setelah perintah tugas itu, setiap meja telah dipenuhi oleh beberapa helai kulit kelapa. Bu Na menegaskan bahwa siapapun harus dapat membuat kulit ketupat yang biasanya siswa sendiri rasakan isinya merupakan lontong.
Di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, daerah di mana siswa berasal, menetap, dan bersekolah, jarang sekali ditemukan ketupat seperti yang menjadi tradisi di pulau Jawa. Bu Na menekankan bahwa keterampilan ini tidak boleh hanya dimiliki oleh anak perempuan saja. Penjelasan yang tidak mencapai waktu dua puluh menit itu menyimpulan sebuah keputusan bahwa mereka harus segera meletakkan dua helai daun kelapa di himpitan jemari di masing-masing tangan mereka. Nyaris semua siswa tidak memahami apa yang bu Na maksud. Beliau sibuk keliling meja siswa selama lima belas menit memberikan gambaran serta instruksi-instruksi selanjutnya. Di meja ke dua terdepan di sebelah kanan, Fathoni, masih belum mendapatkan apapun yang bu Na jelaskan dan arahkan. Tidak ada yang mampu menyalahkan lambatnya respon otaknya dalam hal meresap petunjuk dan informasi. Ia memang tidak berprestasi di akademik, tetapi ia merupakan seorang atlit basket kawakan di sekolah itu. Fathoni Ahmad dengan wajah tak berdayanya begitu sadar bahwa ia akan dapat murka wanita enam puluh taunan itu. Kedua tangannya sedikit gemetar. Dengan tanpa dapat ia percaya, ayunan tangan bu Na yang keras menghilangkan getaran yang timbul akibat suatu ekspresi tubuh yang mensinyalkan ketidakstabilan pikiran akibat tekana dalam pikiran. Suara keras itu mengejutkan seluruh siswa yang memang tengah merujuk pandangan mereka pada gerak-gerik rekannya. “Goblok sekali kamu Fathoni! Apa yang saya katakan tidak pernah masuk ke dalam pikiran kamu ya? Masa’ bikin kulit ketupat aja kamu mumet!”. Mendengar caci yang terlontar dari mulut gurunya, darah Fathoni semakin mendidih. Pukulan di tangannya yang membuatnya meringis perih juga tidak pernah ia dapatkan dari siapapun.
Ia tidak terima perlakuan itu. Seorangpun di muka bumi yang berumur jauh lebih tua, terlebih seumur orangtuanya, tidak pernah mengeluarkan kata yang begitu merendahkan harga dirinya itu. Terlebih di hadapan teman-temannya. Tiga puluh jenis mulut manusia yang mungkin saja akan menjadi sembilan puluh mulut serilaga di luar sana mungkin akan mengumbar-umbar kelemahannya itu. Ia semakin membenci segala sesuatu mengenai pelajaran, serta profil bu Na yang telah mendidik dengan cara yang tidak semestinya dan kelewat batas.
Sebenarnya, kali itu bukan hanya Fathoni yang belum mampu menyempurnakan tugas yang dituntut kepada mereka untuk dapat dikuasai, tetapi masih ada setengah lusin siswa lainnya yang segera menyelipkan dedaunan yang berbentuk memanjang itu menuju alur yang salah dan tidak sesuai perintah. Mereka tidak bersedia menerima kemarahan bu Na seperti yang telah diterima Fathoni oleh karenanya mereka lebih memilih untuk kerja asal-asalan demi menyamarkan ‘razia’ bu Na. Mungkin rasa hati dan pikiran bu Na saat itu memang tengah tidak menentu, oleh karenanya terlantunlah sebuah tugas dahsyat yang wajib mereka selesaikan di pertemuan berikutnya. “Masing-masing dari kalian harus membawa sepuluh lagu tradisional Aceh yang belum diaransemen sama sekali oleh siapapun! Ingat, kalau kalian mau dapat nilai bagus mata pelajaran ini, saya dapatkan tugas kalian minggu depan. Bagi siapapun yang tidak berminat dan berniat menyerahkannya, saya jamin, nilai kalian di mata pelajaran ini akan jadi nilai paling jelek di antara yang jelek”. Ujarnya menggebu seumpama monster di kepala setiap muridnya. Sebagian dari mereka mnghembuskan nafas seolah baru saja terlepas dari sarang serigala. Entah apa yang ada dalam benak guru yang satu ini.
Fathoni yang telah merasakan bagaimana sikap tidak baik gurunya itu merasa baru saat ini ia benar-benar menjadi korban. Ia berusaha mencari sebuah naungan yang mampu menampung unek-unek –nya terhadap sikap yang tidak patut ditolerir. Ia kira, hanya siswa yang tidak sopan yang tega membuat grup anti guru dimana seharusnya posisi guru itu harus dihormati. Kali itu, ia kesampingkan kebaikan etika yang selama ini ditanam dalam pola didik orangtuanya. Sebuah keresidenan dengan nama “Bu Nanas on Facebook” telah dibentuk menanggapi kejadian yang mengecewakan yang dialami oleh siswa SMA Putera Taruna dengan enam puluh lima orang yang terdiri atas siswa kelas satu hingga tiga. Grup ini juga merupakan kelompok tersembunyi. Seusai sekolah, setelah kejadian itu, sebuah undangan ia terima via facebook untuk terlibat dalam dewan kepengurusan grup anti bu Na. Ia terima undangan tersebut begitu saja, tanpa pikir panjang. Grup yang hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang terundang dan menerima undangan tersebut didirikan dan dipimpin oleh seorang yang tidak dapat diketahui. Sementara anggota yang direkrut telah lebih dari lima puluh orang dalam hitungan waktu tidak lebih dari tiga jam. Ia diundang sebagai eksekutif manajer yang ia sendiri tak mampu dan tak ingin mengerti maksud dari jabatan tersebut apa.
Tanpa menunggu banyak waktu yang terbuang, pembahasan seru mengenai keresidenan itupun dimulai. Hal-hal yang terkait dengan bu Na senantiasa dibahas di dinding grup. Berbagai kalimat mengomentari topik yang di-update setiap lima jam sekali. Tidak jarang kalimat-kalimat yang kurang bahkan tidak sopan muncul dari komentar rekan-rekan yang tidak mempunyai etika penggunaan situs jejaring tersebut dengan baik. Sementra jika Fathan menemukan hal tersebut, maka ia akan segera menghilangkan komentar itu dari dindingnya. Ia cukup mengomentari sesuatunya itu semestinya seperti komentar mengenai tugas pencarian lagu Aceh tradisional yang belum diaransemen sama sekali itu. Ia, kakak, ayah, ibu, bahkan bibinya telah ikut mencari dimana tugas rumah tersebut dapat ditemukan. Sayangnya, semua siswa memang mengeluh sulit setelah daya dan upaya mereka kerahkan. Fathan dapat merasa sedikit lega setelah bersama-sama berbagi kesulitan menghadapi segala sesuatu terkait bu Na. Hingga suatu ketika, saat dimana guru teknologi informasi mengomentari apa yang mereka perbuat di dinding grup tersebut.
Bu Ramadhani adalah seorang yang muda dan cantik. Pengalaman mengajarnya baru dua tahun. Tetapi, ia dinilai cukup mahir dalam bidangnya itu. Setelah dua minggu bersenang-senang memberikan komentar ini itu kepada bu Na, Bu Rama menasihati mereka untuk segera mengakhirinya. Ia sendiri tidak berkata jujur perihal apa yang ia ketahui.
Sehari setelah nasihat yang mereka dapat, serta rapat mingguan dewan guru usai, beberapa undangan resmi dari sekolah diterima oleh lima orang siswa. Sekolah mengharapkan kehadiran orangtua Fathoni, Mirza, Lukman, Haikal, dan Fikri di sekolah untuk membahas sesuatu yang tidak jelas maksudnya. Dua di antara nama tersebut adalah siswa kelas X-I sementara sisanya adalah siswa kelas X-II yang jelas merupakan siswa bu Na dan masuk dalam organisasi grup anti bu Na di facebook. Menyimpulkan demikian, siswa yang terlibat dalam grup tersebut mendadak risau. Hampir sebagian dari anggota grup segera mengeluarkan diri, termasuk ke lima anak yang harus mendatangi orangtua mreka ke sekolah esok hari.
Risau bukan hanya hinggap di hati para anggota grup. Galau juga dirasakan Kamil melihat kondisi teman-teman yang telah ia libatkan. Ia tidak tahu harus bagaimana sementara anggota grup tersebut semakin menyusut drastis. Ingin rasanya ia tiadakan keresidenan itu, tapi tidak mungkin. Ia khawatir identitasnya diketahui oleh bu Rama.
Sore itu, pukul 15.30 WIB bertempat di kantor kepala sekolah, bu Na, bu Rama, bapak kepala sekolah, serta guru bimbingan konseling ada di sana. Ke lima orangtua ataupun wali dari lima siswa yang dipanggil juga telah bersiap mendengarkan apa yang akan dibahas. Dimulai dengan ramah tamah hingga menuju poin pembahasan, kepala sekolah telah memegang beberapa lembar data hasil print dari internet. Beliau menunjukkan kepada orangtua muid yang begitu penasaran perihal maksud kedatangan mereka ke sana. Panjang lebar pak Bahrudin menjelaskan apa yang terjadi dengan siswanya yang telah menyalahgunakan internet dan jejaring sosial. Beliau begitu menyesali atas apa yang terjadi pada bu Na, salah satu guru di sekolah itu yang telah menjadi korban hinaan, cacian, serta gosip siswanya. Kelima siswa juga dipanggil kehadirannya guna kesaksian langsung atas apa yang mereka perbuat. Fathoni, selaku eksekutif manajer bingung atas apa yang telah diperbuatnya dengan tanpa sengaja. Ia ceritakan segala sesuatunya berdasarkan fakta. Begitu juga keempat siswa lainnya yang hanya menjabat sebagai anggota namun terhitung keterlibatan mereka adalah yang paling aktif. Kelima orangtua yang hadir itu merasa tersinggung, marah, dan kecewa terhadap putera mereka. Meskipun kesaksian telah dilakukan dan menyatakan bahwa pihak yang salah bukan hanya kenakalan siswa, tetapi juga faktor guru, bu Na tetap tidak mau mengerti. Ia merasa nama baiknya hancur dibuat oleh siswanya sendiri. Ia begitu marah mendengar apa yang dilaporkan oleh bu Rama sebelumnya. Ia tidak terima siswanya membalas dengan cara demikian. Dengan keterbatasan pengetahuan mengenai situs facebook dan cara penggunaannya, ia semakin merasa bahwa nama baiknya rusak total di hadapan sejuta pengguna facebook se-Indonesia. Ia tidak akan terima musyawarah tersebut hanya menghasilkan kata maaf dan jabatan tangan biasa. Bu Na dengan penuh emosi menyatakan bahwa permintaan maaf harus dipublikasi yakni maaf melalui media informasi apapun, cetak ataupun elektronik. Jika tidak, beliau akan menuntut hal itu ke pengadilan perihal perusakan nama baik. Ia, saat itu, tidak ingin mengerti meskipun penjelasan telah ditegaskan oleh Fathoni bahwa ia dan rekan-rekannya hanya menuruti undangan atau ikut-ikutan tanpa tahu siapa yang menciptakan grup tersebut.
Entah ini musibah atau cobaan bagi ayah Fathoni karena keputusan menyatakan bahwa ia dan juga ayah dari Mirza yang harus bertnggungjawab melalui media. Mereka, orangtua murid, sepakat bahwa akan menyatakan permintaan maaf secara resmi melalui koran harian yang terkemuka di daerah.
Sehari setelah itu keluarga Fathoni dan Mirza muncul di sudut kanan halaman terdepan koran yang paling laris dibaca. Mereka mengucapkan maaf kepada ibu Karlina Nasution dan berjanji takkan mengulangi perbuatan itu lagi. Dan alasan yang tidak dipublikasikan jelas-jelas menimbulkan tanda tanya di pikiran pembaca media tersebut.
Sekarang ini, di tengah hari yang berhias mentari, Kamil masih jelas mengingat apa yang telah diperbuatnya. Namun ia masih yakin bahwa pemahaman bu Na mengenai teknologi internet hanyalah sebatas laporan dari bu Rama. Kamil masih sangat bersemangat mengurusi dan memimpin grup dan anggotanya yang baru, “Anti NANAS” yang bukan lagi grup tertutup, melainkan terbuka untuk umum sehingga bagi setiap orang yang mau bergabung, dapat saja dengan mudah masuk ke sana.
Sementara di depan sana, sesosok guru berjalan hilir mudik mencoba melakukan transfer ilmu. Setelah kenyataan ia dapatkan, pahami, dan mengerti bahwa Kamil, putera kerabat dekat sekaligus orang yang telah berjasa memberikannya pekerjaan ini, adalah pelaku utama perusakan nama baiknya. Dengan hati yang penuh marah. Ingin rasanya ia berteriak “Kamil! Hentikan semua ini!”.
Duduk santai di sudut sana Kamil bersama seratus tiga puluh lima orang teman-temannya, di dalam grup yang diciptakannya, mengomentari gerak-gerik bu Na setiap inci-nya. Ia tidak peduli. Tak ada yang mampu mengendalikan ini.
berdasarkan kisah nyata
Aku Ingin Sekolah Oleh Meta Keumala
Udara hari ini begitu panas. Kurasa uapnya memaksa butir-butir keringat di pori-pori tubuhku membanjir. Teriknya membakar kulitku hingga menembus ke tulang. Aku benci suasana seperti ini. Namun, tuntutan tugas ini tak ‘kan mungkin dapat kuhentikan tanpa tanggungjawab. Aku masih sangat bersyukur ini bukanlah hari di bulan ramadhan, karena jikalau ya, maka menahan nafsu untuk minum seteguk air benar-benar merupakan perang badar buatku, lalu kemudian menjadi kemenangan besar apabila kuraih maghrib. Akan tetapi, atas seberapapun rintangan itu, aku akan terus bersyukur karena hidupku. Hidupku sendiri adalah suatu anugerah yang tak dapat disamakan dengan sesuatu apapun. Toh yang hanya dapat kumiliki dalam hidupku hanyalah ruh yang berbalut jasad karena aku tak memiliki apa-apa.
Aku haus, sangat haus. Rasanya kerongkongan ini begitu kering dan perih. Sekeliling bibirku seperti terbakar. Sekejap mataku menangkap beberapa sosok mahasiswa dari kejauhan. Mereka berjalan sejajar, meski berbeda langkah, tetapi mereka menggenggam benda yang serupa. Gelas-gelas plastik bening, yang bertutup seperti mangkok terbalik, berisi air berwarna merah muda, mengandung es dan tampak sangat menyegarkan. Aku yakin, jika segelas saja dapat berada dalam genggamanku dan isinya kureguk, akan menjadi obat dari penderitaan ku saat ini. Manis. Pasti rasanya sangat menyegarkan!
Mereka terus melangkah, menuju ke arahku, dua orang dari mereka mengayunkan gelas-gelas itu. Aku berharap salah satunya terlempar dan dapat kutangkap. Ah! Hayalan aneh, lagi-lagi menyapaku. Bodoh. Kuakui keputusanku membeli sebuah handphone baru adalah kesalahan! Meskipun yang kubeli itu terbatas hanya sekedar untuk mengirim pesan, menjawab telepon dan mendengarkan radio, tetapi aku benar telah menghabiskan uang cadanganku. Setidaknya, kan, aku dapat membeli segelas seperti yang mereka beli.
Tanpa kusadari, tiba-tiba sebuah benda nyaris jatuh ke atas kepalaku. Salah satu dari gelas itu jatuh! Hah? Aku bahkan tidak menyadarinya karena hayalanku. Gelas berisi air merah muda itu terjatuh begitu saja, terbaring tak berdaya menumpahkan isi tubuhnya. Sementara aku yang masih kehausan terpana menyaksikannya. Naasnya lagi, ia jatuh melewati kepalaku seolah rizqi yg tak sanggup kuperoleh.
Aku di bawah sini, di dalam parit ini, hanya dapat tercenung. Mereka, tiga gadis yang menampilkan diri berkecukupan dengan santainya melewati aku tanpa mereka tahu bahwa aku hampir saja menjadi koban salah satu dari mereka.
“Kenapa kè buang, Ris? udah tu kè buang pulak ke paret! Kok banjir kè yang salah ya!” Tanya salah seorang rekannya dengan bahasa Indonesia yang terpadu logat Aceh yang kental. “Banyak kali es batunya pening kepalaku jadinya, malas kuhabiskan.” Sahut gadis manis bekulit putih itu.
Geram ku dengar jawabannya. Dalam refleks celotehku bervolume lumayan, “Ureung lagak, tapi beh broh baranggapat.”(Orangnya cantik, tapi buang sampah sembarangan.) Gadis-gadis itu sontak mencari suara. Namun mereka tak berhasil menemukannya karena tak ada satupun dari mereka yang menghentikan langkah dan menyadari bahwa aku berada di bawah.
Proyek pembangunan drainase se-Banda Aceh ini tengah kujalani. Bersama sejumlah rekan sekerja yang kebanyakan dari pulau Jawa, kami masih berusaha menyelesaikan proyek di seputaran kampus Universitas Syiah Kuala, dimana ribuan mahasiwa wara-wiri membuatku tak henti iri. Aku iri karena mereka mampu. Otak mereka mampu mengungguli siswa-siswa lain, atau sekalipun banyak tudingan bahwa kebanyakan dari mereka juga menggunakan dana besar sehingga mereka dapat meraih gelar yang sangat kudambakan “Mahasiswa Unsyiah”, aku tetap merasa mereka memang beruntung. Ah, lagi-lagi dambaan bodoh dan omong kosong bagiku. Bagaimana bisa seorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama dapat menyusup sambil melompat untuk menjadi mahasiswa?
Bayangan masa kecilku kembali bergelayut di kepalaku. Tidak, bukan membayangi seperti biasanya, tetapi menghantuiku! Ya, karena begitu menyeramkan buatku. Aku putera sulung dari tiga orang bersaudara. Ayahku seorang petani di desa yang indah dengan sumber alam yang melimpah. Beliau, berkulit cokelat dengan raut muka bijaksana dan bermata teduh, adalah sosok yang berpengaruh penting dalam hidupku. Segala ucapnya penuh nasihat. Beliau senantiasa berkata bahwa setiap yang kami miliki merupakan harta dan anugerah yang tak ternilai harganya. Pesan moral itu senantiasa ada dalam relung otakku.
Ibuku seorang pekerja keras. Beliau membantu ayah mengerjakan pekerjaan di ladang. Selebihnya, beliau membuat tikar pandan anyaman yang indah. Beliau mendidik kami dengan keras dan disiplin. Namun sayangnya, beliau hanya sempat mendidik aku dan adik perempuanku yang pertama, karena tatkala beliau melahirkan anaknya yang terakhir, beliau turut menghabiskan nafas terakhirnya. Bagiku, kepergiannya adalah mimpi buruk yang menyisakan pahit berkepanjangan.
Setelah kepergiannya, serta merta ujian dari Tuhan tak henti. Ayahku terlibat dalam suatu pergerakan rakyat menentang negara. Ilmuku masih terlalu sedikit untuk memahami apa yang tengah ayahandaku kerjakan yang kemudian berdampak malapetaka bagi aku dan adikku kala itu. Keluarga dan kerabat orangtuaku menjauh karena tak mau kecipratan masalah. Dua orang adikku masih duduk di bangku kelas 1 dan 2 SD saat perpisahan menyeramkan itu sekali lagi harus kualami. Adik perempuan pertamaku terpaksa ayah ungsikan ke Lhokseumawe untuk melanjutkan sekolahnya. Beliau mengandalkan sepupu perempuan ibuku yang menetap di sana untuk menjaganya lantaran kondisi kampung kami semakin mencekam karena klimaks konflik Aceh kian memuncak.
Seorang adikku lainnya kuasuh sebisaku. Sementara ayah, sibuk dengan rekan-rekannya yang lain bersama misi yang mereka bawa. Sekolah kuabaikan, selain itu juga karena sulitnya akses ke sekolah akibat dari panasnya kondisi kampungku. Sawah dan binatang ternak adalah proyekku. Saat kesibukanku itu memuncak, sekelompok orang yang entah dari mana asalnya mendatangi rumahku, yang ku tahu ayah tengah berada di sana bersama adikku untuk makan siang. Aku berladang tak jauh dari rumah saat suara tangis meraung diiringi tembakan senjata meletus. Aku kaget. Firasatku kuat mengatakan bahwa suara itu berasal dari rumahku. Itu tangis adikku! Aku berlari pulang.
Kudapati tubuh adikku bersimbah darah. Pinggangnya terkena peluru. Sementara piring berisi nasi yang belum habis disantap masih ada di atas tikar. Rumahku yang beralaskan tanah menyerap seketika darah serta pandanganku. Gelap. Aku limbung.
Aku tersadar di sebuah rumah yang tak kukenal. Seseorang membangunkanku.
“Dimana adikku? Dimana ayahku?” pertanyaanku tercekat lalu tertelan di dalam kerongkonganku.
“Adikmu meninggal dunia, sebentar lagi kita makamkan bersama-sama.” Seorang yang cukup familiar, rekan ayahku, menjawab pertanyaan yang bersembunyi di balik hatiku.
“Innalillahi…” Aku menitikkan setitik air mata di sudut mata kiriku. Toh percuma aku menangis, menjerit, menyumpah. Semua yang telah diambil-Nya takkan kembali lagi.
Seusai pemakaman berlalu aku mempelajari jalannya waktu yang terbingkai pilu. Tanpa perlu kutanya pada siapapun, aku tahu ayahku menghilang. Diculik. Pasti sekelompok orang itu membawa serta ayahku. Beliau tidak mungkin meninggalkanku sendiri. Harapku, ayah akan kembali.
Tetapi waktu berjalan merangkak. Aku tak ingin berada di tengah-tengah sumber api. Panas. Aku memilih pergi. Kutitipkan salam cintaku untuk ayahku, jikalau ia kembali suatu waktu nanti, kepada rekan-rekannya.
Beginilah aku sebatangkara. Dulu ayahku pernah bercerita tentang keluarganya. Tentang pamanku yang tinggal di kampung yang cukup jauh untuk kami datangi karena kami tak memilki kendaraan untuk mencapainya. Inilah dampaknya persaudaraan tanpa ikatan silaturahmi. Aku tak mengenal keluargaku sendiri.
Seseorang berkata aku dijemput di sebuah terminal angkutan antar kabupaten. Aku akan menemui saudara sepupu ayahku. Aku menurut. Seseorang yang kutemui itu memiliki sedikit banyak kesamaan dengan ayahku, wajahnya teduh dan tutur katanya penuh nasihat. Ia memohon maaf kepadaku karena ketidaksanggupannya merawatku. Oleh karenanya, ia akan menitipkan aku pada seorang saudagar kampung.
Masih ada sebuah harap yang kutaruh. Adik perempuanku seorang lagi. Jika cukup uangku nanti, kan kutemui ia. Tetapi Allah Ta’ala masih senang mengujiku. Bencana besar yang mengakhiri kelamnya konflik di Aceh dating. Tsunami merenggut adikku. Menjemputnya untuk berkumpul bersama orangtuaku serta saudaraku di suatu tempat yang tak terjangkau oleh daya pikirku. Kepedihan masih tak ingin lekang dari hati ini. Selepas aku menamatkan Sekolah Menengah Petama, saudagar itu melepasku. Ia yang selama ini membiayai sekolah dan hidupku. Aku hanya mampu mengucapkan terima kasih kepadanya.
Aku benci orang-orang yang mengasihaniku tanpa benar-benar menunjukkan rasa kasih mereka kepadaku. Hatiku masih teriris setiap kudengar kerabat dekat keluarga ayahku ataupun relatif kami berkata di belakangku tatkala aku mengunjunginya: “Sayang dia. Yatim piatu. Ayahnya diculik. Entah sudah meninggal atau masih hidup. Yang jelas, ayahnya tidak pernah ditemukan keberaadannya sampai detik ini.” Ucapan-ucapan serupa tidak hanya sekali kudengar. Ku maki mereka dalam hati, “Kalian disana! Tidakkah kalian tahu aku tidak butuh ucap kasihan yang omong kosong itu? Jikalau kalian peduli, kenapa kalian biarkan aku terkatung-katung seorang diri? Mengapa aku ditinggalkan?” Oh, ayah, aku tahu kau tidak akan pernah tega meninggalkanku sebatangkara seperti ini.
***
Kini aku terduduk, masih di sebuah parit di sekitar kampus. Aku masih iri, mungkin akan terus iri. Aku terhenyak menyadari nasibku nyaris serupa dengan Arai yang terkisah di sebuah novel favoritku yang kupinjam dari seorang teman mahasiswa. Suatu waktu nanti, kan kudapatkan mimpiku untuk menjadi seorang mahasiswa! Pesan ayahku, setiap yang kami miliki merupakan harta dan anugerah yang tak ternilai harganya. Diriku adalah satu hal yang kumiliki saat ini.
Penulis:
Meta Keumala, Mahasiswi FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala Angkatan 2007
Flanel DVD VCD Case
Nahhhh ini dibuat sambilan iseng2 duduk nonton DVD... sebenernya covernya kartun,, tp krna kurang berminat, ya udah disarungin flanel deh...
~klo ada yg berminat, boleh nihhh diorder...
seharga Rp 35.000 aja.... boleh pesen warna dan tulisan cover depannya juga
please contact me: 08566001783/ Meta
klo bukan no itu dan bukan Meta berarti di luar tanggungjawab kami ya.. :)
Strawberry & Super Mini Diary
Rencananya mereka mau dijadiin sovenir...
Strawberry & super mini Diary -nya @ seharga Rp. 3500...
pembelian di atas 30 buah diskon 10%
pembelian di atas 65 buah diskon 20%
pembelian di atas 100 buah diskon 30%
siapa ada yg berminat silakan hubungi: 08566001783 atas nama : META...
so, please klo bukan Meta dan bukan dengan no tersebut berarti di luar tanggungjawab Pelangi Handicraft ya :)
Tempat Tisu Es Krim Flanel ( "I Love Ice Cream ")
Ini adalah tempat tisu yang dibalut kain flanel.. sebenarnya mau bikin tutorialnya... tapi sayangnya kamera lagi ga da batere.. :( yhaaa meskipun ga semenarik para ahli at least, I'd tried my best... dan sebenarnya lagi... mau bikin pake tempat tisu yg atasnya datar.. sayangnya waktu beli yg ada tempat tisu atasnya datar tapi bawanya dah kebentuk bunga... (bahan plastik) jadi khawatir pilih itu takut ga bisa dibalut kain flanel nantinya.. akhirnya kebeli yang tutupnya bulet... dan begini deh hasilnya...
Selasa, 17 Januari 2012
Memori Bersama Alkahfi Language Course
Alkahfi adalah tempatku menimba pengetahuan, mengasah bakat, menambah ilmu, bersahabat, memilki rasa kekeluargaan, solidaritas, dan.... masih sangat banyak lagi :)
Saat saat sibuk dulu... the projects, the meetings, the teaching and learning processes....
saat saat hang out bersama... foreigners, volunteers, visitors,
saat saat yang tak pernah ingin kulupakan... :)
I do really miss you all, guys :)
for the dearests:
1. Bang Normansyah PAN
2. Bang Ilham Maulana
3. Bang Aidil Azhar
4. Bang Fajri Siddiq
5. Faris
6. Lentera Mentari
7. Cut Safira
8. Mamak and Rita
9. Teuku Yasvi
Hope can be together again... :)
Langganan:
Postingan (Atom)